Sejak Rani lahir ke dunia ini Gibran-Papa tak pernah menyayangi dirinya berbeda kepada Rona. Lelaki berumur 40 tahun itu selalu menuruti keinginan anak pertamanya-Rona dan menyayangi cewek itu melebihi apapun. Jika Rona salah pun, yang akan disalahkan pasti Rani entah mengapa selalu dibeda-bedakan padahal sama-sama anak kandung bukan anak hasil adopsi dan semacamnya. Seluruh keluarga besarnya pun selalu mengucilkan Rani maka dari itu ia tak pernah mau lagi bertemu dengan kerabatnya atau siapapun itu. Dia benar-benar ingin menutup rapat hidupnya, menghindari dari ucapan orang yang menyakitkan.
Dan sekarang tiba-tiba di rumahnya ada keluarga besar dari Mama dan Papa nya. Rani tidak ingin ikut berkumpul karena pasti dia akan dibanding-bandingkan dengan Rona. Namun, perut Rani mulai keroncongan dan ia pun terpaksa turun ke bawah untuk mengambil makanan. Nasib sial menimpanya, ia ketahuan oleh Diva-Tante.
"Rani?" ucapnya lalu semuanya menoleh kearah Rani.
"Itu beneran kamu Rani?" Diva menahan tawanya, "tambah gendut aja nih, rawat dong badan sama wajahnya." celetuk Diva.
"Ya jelas gendut, orang makannya banyak." jawab yang lainnya.
"Kalo gue jadi lo Ran malu deh buat pergi ke sekolah." timpal Erna-sepupu.
"Beda banget sama Rona, Rona kurus cantik putih bersih. Sedangkan Rani? Berasa Rona yang jadi adeknya, ya. Kelihatan lebih muda Rona."
"Iya gemuk banget ya sekarang, eh dulu juga gemuk sih, hahaha. Maksudnya tambah gemuk aja, enggak dijaga makanannya?"
"Olahraga dong, kecilin badannya. Gak enak dipandang jelek kayak gitu, terus itu wajahnya kenapa ancur? Gak pernah dibersihin, ya?"
"Dih iya, jerawatan... "
Rani menelan semua hinaan dari kerabatnya, dia berusaha tetap tersenyum dan tak memperlihatkan air matanya. Tetapi, air mata itu mengalir tanpa di duga. Dan cewek itu sesegera meninggalkan tempat, buru-buru pergi ke kamarnya.
"Kalian kenapa si, gangguin terus Rani?!" bentak Ratih.
"Ah elah, becanda doang kali, Rat." jawab Diva.
Ratih mulai menaiki tangga dan langsung masuk ke dalam kamar Rani ia mendapati Rani yang sedang menangis disudut kamar. Dan Rona menyusul namun ia hanya berdiri di depan pintu tidak ikut masuk, niatnya cuma pengen nguping, aja.
"Jangan dengerin apa kata mereka, ya, Nak..." ujar Ratih.
"Kenapa semua orang jahat sama Rani? Kenapa mereka selalu ngebanding-bandingin aku sama Kak Rona? Aku tahu aku jelek, gendut, dekil, jerawatan terus a-"
"Ssst! Jangan ngomong kayak gitu." Lalu Ratih memeluk Rani dengan erat. "Tenang, masih ada Mama."
Lalu Rona masuk ke dalam kamar Rani dengan raut wajah sedikit kesal. Karena Rani selalu membawa-bawa namanya.
"Lo gak usah baper sama perkataan Tante Diva dan semuanya. Gak usah cengeng," lontar Rona.
"Kakak ngomong kayak gitu karena kakak gak tahu gimana rasanya dibanding-bandingin dan dipermalukan seperti tadi. Emang Kakak pernah? Enggak kan, aku yang selalu ngerasain."
"Itu sih salah lo sendiri kenapa dari atas sampe bawah beda jauh sama nyokap bokap, cantik enggak, kurus enggak, cerdas juga enggak. Mungkin lo anak pungut."
"Hei. Udah! Kenapa malah berantem? Kalian semua anak Mama, kalian semua di mata mama itu sempurna. Stop saling lontarin perkataan kotor seperti tadi," sambung Ratih lalu ia beranjak pergi.
Rona mendekat ke arah Rani lalu berkata, "kasihan ya, jadi lo. Udah jelek, gendut, bodoh gak disayang sama Papa dibully terus.... Duh, miris."
"Stop ya, Kak. Aku akui aku emang gak sempurna dan gak punya kelebihan tapi jangan ngomong kayak gitu karena aku juga udah tahu."
"Asal lo tahu gue tuh sebenernya malu punya adek kayak lo. Lo itu gak pantes ada di keluarga ini, lo itu cuma beban."
"Kenapa sih Kakak selalu jahat sama aku? Aku ini salah apa?"
"Salah lo? Salah lo kenapa lahir di dunia! Kalau lo gak lahir Mama bakal nyayangin gue, bukan lo."
"Papa kan sayang sama Kakak, adil dong?"
"Gue maunya Papa sama Mama itu benci sama lo!"
"Jahat!"
"Gue jahat?" Rona menampar pipi Rani bulak-balik dan mencekiknya.
"Jaga ucapan lo!"
Rani tampak kesakitan dan ia mencoba melepaskan tangan Rona dari lehernya.
"Lepasin, Kak!" jerit Rani dan terdengar sampai bawah.
"Mereka ngapain, ya? Kok berisik gitu," ucap Diva daripada penasaran ia pergi ke lantai dua.
Pintu seperti ada yang ingin membuka dan Rona langdung pura-pura terbentur. Ketika pintu sudah dibuka Diva tampak terkejut.
"Gibran, Ratih!!! Semuanya sini!" pekiknya lalu semuanya datang menghampiri.
"Rona!!!" teriak Ratih, shock....
"Kamu apain Kakak kamu ha?!" bentak Gibran pada Rani.
Rani menggeleng, "Kak Rona pura-pura, aku gak ngapa-ngapain dia!" jelas Rani.
"Bohong kamu! Pergi sana dari rumah saya!"
Rona yang mendengar itu merasa senang diam-diam ia tersenyum miring, merasa menang. Gibran menyuruh Diva dan yang lainnya mengemas barang-barang Rani ke dalam koper. Rani mencoba mencegah namun, dilarang.
"Ayo sana, pergi!" bentak Gibran seraya melemparkan koper. Entah mengapa Ratih tak membela Rani.
Rani menghela nafas lalu menatap orang-orang di depannya bergantian.
"Aku tahu aku bodoh, aku jelek, gemuk. Banyak kurangnya. Kalian enggak usah menyudutkan aku, jangan ngebanding-bandingin aku sama Kak Rona. Kalian enggak tahu kan betapa sakitnya jadi aku yang selalu dijelek-jelekan, dipandang sebelah mata. Dan kalian selalu membela yang salah, kalian enggak tahu kejadian apa yang sebenarnya. Aku diam aja karena aku tahu, Tuhan itu adil. Rani pergi, makasih udah bikin aku se-sakit ini."
Setelah itu Rani benar-benar pergi dari rumah dan tak ada yang mencegahnya. Seakan-akan ia memang tak berarti. Cewek itu pernah berpikir apakah ia anak kandung atau bukan, cara ia diperlakukan seperti bukan anak kandung.
•••
200 komen untuk next
FOLLOW IG: @/deiviraelzikra
![](https://img.wattpad.com/cover/241649229-288-k343419.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMO [END]
Teen Fiction"Jika mencintai seseorang memiliki alasan, itu bukan cinta." Bimo Arbani, ia terus dipaksa agar mau dengan wanita yang paling dibencinya, Ajeng. Karena Ayahnya sangat berpengaruh besar pada keuangan keluarga Bimo. Tapi hatinya tetap tertuju pada gad...