Yuki mendongakkan kepalanya dan melihat Stefan disebelahnya. Stefan menatap Yuki sedih. Ia pun menarik Yuki ke dalam pelukannya. Yuki menangis sejadi-jadinya. Stefan semakin mengeratkan pelukannya. Perlahan Yuki melepas pelukannya. Sambil menangis, Yuki berusaha mengumpulkan sobekan foto kedua orangtuanya. Cathy tersenyum melihat adegan mengharukan didepannya. Ia pun kemudian masuk meninggalkan mereka berdua.
"Ayo tinggalkan tempat ini," ujar Stefan.
Yuki mengangguk pelan. Ia menatap ke sekitar dan melihat api didalam tong besi sudah sedikit padam. Yuki berjalan pelan, mendekati tong tersebut. Melihat kedalam. Hangus. Tidak bersisa. Yuki meneteskan airmatanya lagi. Stefan berjalan mendekat, lalu menarik tangan Yuki dan mengajaknya pergi meninggalkan rumah Yuki. Yuki menghentikan langkahnya.
"Ini rumah gue, kenapa gue harus pergi?" tanya Yuki pelan. Stefan menatap Yuki tajam. Kedua manik matanya seolah menusuk kedua mata Yuki. Yuki membuang pandangannya.
"Lo mau tetap tinggal disini atau ikut sama gue," ujar Stefan dingin.
Yuki tampak berpikir sejenak. Ia bingung apa yang harus ia lakukan, ikut Stefan dan meninggalkan rumahnya. Atau tetap tinggal. Yuki menarik napas pelan. Ia memberanikan diri untuk menatap Stefan.
"Ayo, kita pergi." ujar Yuki kemudian.
Mereka berdua pun pergi dan menuju mobil Stefan. Cathy memandang keduanya dari atas. Ia menatap tajam ke arah Stefan, lalu tersenyum miring. Entah pikiran jahat apalagi yang ada diotaknya. Didalam perjalanan, keduanya hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Yuki masih merasakan sedih. Sesekali ia menghapus airmatanya pelan. Stefan melihat Yuki sekilas, wajah Stefan terlihat sangat kacau. Yuki berhasil membuatnya merasa khawatir. Mobil Stefan tiba dirumahnya. Keduanya pun masuk ke dalam rumah. Stefan mengedarkan pandangannya. Sepi. Sepertinya Max belum pulang.
"Segera masuk kamar dan istirahat," ujar Stefan dingin seraya berjalan menuju kamar Max.
Yuki pun melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Stefan. Yuki berjalan menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Yuki menatap sobekan foto yang ia letakkan di atas tempat tidur. Yuki memperhatikan setiap sobekan kecil foto kedua orang tuanya. Ia tampak memikirkan sesuatu.
Kemudian ia berjalan ke arah meja belajar Stefan. Ia mencari kertas HVS dan lem. Setelah mendapatkannya, ia keluar dari kamar sambil membawa sobekan foto tersebut. Yuki duduk dilantai di ruang tengah. Ia berusaha menyatukan sobekan foto tersebut seperti sebuah puzzle. Dengan perlahan dan teliti Yuki menyatukan setiap sobekan tersebut ke atas kertas HVS. Stefan keluar dari kamar dan menemukan Yuki berada di ruang tengah.
"Lo ngapain?" tanya Stefan yang kemudian ikutan duduk dilantai. Yuki menoleh sekilas lalu tersenyum.
"Gue pikir sobekan foto ini seperti sebuah puzzle. Jadi gue harus susun ini dengan baik," ujar Yuki. Stefan menatap Yuki lekat.
"Emangnya lo ngga punya foto yang lainnya?" tanya Stefan. Yuki tersenyum miris.
"Ini satu-satunya yang gue punya. Dan bodohnya gue ngebiarin ini hancur." ujar Yuki lirih seraya menatap Stefan.
"Gue rasa wajah mereka udah ada dihati dan terekam baik di memori otak lo," ujar Stefan. Yuki terkekeh geli mendengar ucapan Stefan. Lalu ia tersenyum kecil. Stefan menatap Yuki bingung.
"Gue harap juga gitu. Tapi kenyataannya gue lupa gimana wajah orang tua gue. Gue ngga inget. Tanpa melihat foto mereka, gue ngga bisa inget gimana wajah mereka. Gue ngga bisa mengingat itu. Bodoh banget kan gue," ujar Yuki dengan suara yang terdengar serak. Ia berusaha menahan tangisnya. Stefan menatap Yuki lekat, namun gadis itu tidak balik menatapnya. Stefan memegang tangan Yuki yang kini gemetaran. Yuki menghentikan kegiatannya.
"12 tahun yang lalu gue dan orang tua ngalamin kecelakaan. Gue selamat. Tapi orang tua gue ngga. Mereka meninggal dalam kecelakaan itu. Gue ngga inget gimana kecelakaan itu bisa terjadi. Karena tiba-tiba gue udah ada dirumah. Gue ngga pernah sadar kalau gue kehilangan mereka. Sampe kedatangan keluarga Tante Cathy, baru gue tahu kalo orang tua gue udah meninggal. Dokter bilang gue ngalamin trauma, sehingga sulit menerima kenyataan. Tapi..." Yuki menghentikan ceritanya. Ia sudah tidak bisa menahan airmatanya lagi. Stefan menarik Yuki kedalam pelukannya. Ia tidak bisa melihat gadis itu menangis.
"Semua kenangan tentang mereka ikut menghilang. Gue ngga bisa ingat sedikit pun. Bertahun-tahun gue coba untuk inget, tapi hasilnya tetap nihil. Gue..."
Yuki tidak sanggup meneruskan kalimatnya lagi. Ia menangis sekerasnya. Stefan pun tidak sanggup menahan airmatanya yang keluar karena ia pun ikut merasakan sakit yang Yuki rasakan. Cukup lama mereka dalam posisi seperti sekarang. Keduanya menangis. Stefan mengusap lembut punggung Yuki, berusaha menenangkan.
"Lo udah selesai nyusunnya. Apa perlu gue bantu," ujar Stefan pelan.
Yuki menggeleng pelan. Ia seperti menyadari sesuatu. Yah, ia baru menyadari kalau saat ini Stefan tengah memeluknya erat. Ada kehangatan disana. Yuki merasa aman dan nyaman dipelukan Stefan.
"Ehm... Lo bisa lepasin pelukan lo. Gue mau lanjut nyelesein puzzlenya," ujar Yuki pelan.
Pipi Stefan merona merah. Ia baru sadar kalau saat ini ia sedang memeluk Yuki dengan eratnya. Stefan melepaskan pelukannya perlahan. Ia terlihat salah tingkah.
"Kalo gitu gue akan bikinin lo minuman." ujar Stefan gugup seraya beranjak dari duduknya dan pergi menuju dapur.
Yuki tersenyum kecil melihat tingkah Stefan. Sesaat kemudian ia kembali sibuk dengan puzzle foto orangtuanya. Ia telah menyusunnya dengan baik, namun ada satu potongan yang tertinggal. Yuki mencari-cari potongan itu. Ia mencarinya hingga ke bawah meja. Takut terselip.
"Lo ngapain?" tanya Stefan bingung. Yuki mendongak lalu tersenyum.
"Hampir selesai, tapi gue kehilangan satu potongan." ujar Yuki sambil terus mencari.
Stefan melihat ke atas meja. Memang bagian tengah foto itu tidak lengkap. Kemudian ia merogoh saku celananya. Mengeluarkan kertas kecil.
"Gue rasa ini udah selesai," ujar Stefan seraya meletakkan potongan kertas kecil itu. Yah, foto orang tua Yuki sudah selesai. Yuki terlihat senang. Ia dapat melihat wajah orangtuanya lagi, meskipun ada garis disetiap bagian fotonya.
Keduanya duduk sambil menikmati minuman cokelat yang dibuat oleh Stefan. Mereka saling diam."Bokap lo keliatan ganteng di foto itu," ujar Stefan.
"He-eh. Tapi Om Indra bilang dia yang paling ganteng,hihi" ujar Yuki sambil tertawa kecil.
"Nyokap lo juga cantik," ujar Stefan lagi.
Kali ini tidak ada jawaban dari Yuki. Sunyi. Stefan menoleh ke samping dan menemukan Yuki sudah tertidur. Stefan tersenyum kecil. Ia meletakkan gelas minumannya. Lalu menggendong Yuki menuju kamarnya. Yuki benar-benar tertidur pulas. Hingga ia tidak sadar Stefan telah memindahkannya ke tempat tidur. Stefan mengusap lembut kepala Yuki. Lalu ia mengecup lembut dahi Yuki. Sebelum pergi tak lupa ia menyelimuti Yuki. Stefan menatap Yuki lagi. Ia bisa melihat begitu polos dan cantiknya wajah gadis itu. Stefan tersenyum kecil.
"Kayaknya gue udah mulai suka sama lo, Ki." ujar Stefan lirih.
continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Back in Time
FantasyMasa lalu tetaplah masa lalu. Biarlah itu menjadi kenangan. Dan biarlah semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Karena apa yang telah kita dapatkan pastilah ada makna indah tertentu di dalamnya - Azura Stefkivers