24. Dilema

2.4K 340 149
                                    




Entah sudah keberapa kali ia menghela nafas. Aneh memang, mengapa ia tak bisa menangis saat dihadapannya kini Ally terbaring dengan air mata kesakitan. Rose tak tahu seberapa menyakitkannya kemoterapi, namun dari bagaimana Ally menangis dan berteriak hingga wajahnya memerah seakan menahan kesakitan, dapat Rose pastikan jika itu menyakitkan. Tapi mengapa ia tak bisa ikut menangis? Memundurkan langkah, akhirnya Rose menyudahi sesi mengintipnya dari balik pintu kaca ruang rawat Ally.

"Kenapa?" tanya Mika yang kini duduk dikursi tunggu, menyambut kehadiran Rose yang ikut duduk disampingnya.

"Gue dengar semua obrolan Papa dan Dokter. Jalan terbaik untuk kesembuhan Ally adalah menerima donor sumsum tulang belakang. Tapi sampai sekarang belum ada yang cocok."

"Jangan bilang lo mau bantu Ally?!" Sergah Mika, seraya menararik pundak Rose untuk menghadap kearahnya.

Rose mengangguk tak yakin, membuat Mika menghela nafas kesal. Tidak salah jika Rose memerjuangkan keselamatan saudaranya sendiri, malah menunjukkan jika Rose adalah saudara yang baik. Namun, sampai kapan Rose akan terus berkorban? Mika tahu betul bagaimana Rose menjalani kehidupannya di rumah itu. Entah dengan alasan apa, mamanya begitu meng-anak tirikan Rose yang jelas-jelas memiliki hubungan keluarga juga dengan mereka. Namun sekarang lagi-lagi Rose yang harus berkorban? Rasanya Mika tak bisa menerima ini dengan semudah itu.

Terlebih, bukan hanya Rose saja yang Mika khawatirkan, kini wanita itu sedang berbadan dua, mana mungkin ia merelakan bayinya untuk keselamatan orang lain? Haruskah ada kematian untuk kelanjutan hidup orang lain? Mengapa harus berkorban sejauh ini?

"Mau kemana?"

"Periksa, gue harus cek apa gue cocok jadi pendonor Ally." Rose melepas cengkraman Mika, kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan.

"Haish! Dasar bocah sinting!" Kesal Mika namun sekesal apapun ia, tetap saja kakinya melangkah mengikuti sahabat sintingnya itu. Sepertinya besarnya persahabatan mereka sudah tak bisa diukur lagi dengan jari.

"Rose! Please lo pikirin dulu matang-matang, lo yakin mau jadi pembunuh?"

Pembunuh?

Hah?!

Pembunuh katanya?

Rose menghentikan langkahnya, menyeringai dengan mata yang perlahan terasa memanas. Pembunuh, ya ia akan cocok dipanggil dengan sebutan itu nantinya, ia memang akan melenyapkan nyawa bayi tak berdosa didalam perutnya. Diusap perut ratanya dengan setetes air mata yang perlahan turun, namun dengan sigap dihapusnya, tak mau meninggalkan jejak.

"Kita besarkan bayi ini bareng huh? Kalau lo takut mengungkap kebenaran ini, cukup kita sembunyikan saja. Masalah donor untuk Ally, gue bakal bantu cari, gue siap menyebar luaskan berita pencarian donor buat Ally, jadi please—"

Mendengar penjelasan panjang Mika, membuat Rose tertawa lantang, ia berbalik dan tertawa seakan sedang mengejek ucapan Mika yang tidak masuk akal. Mengapa ia harus berkorban sendiri? Mengapa ia harus sembunyi hanya untuk mempertahankan bayi yang bahkan tak diharapkannya? Lagipula, bagimana mungkin ia biarkan pendosa itu hidup bebas setelah menghancurkan hidupnya? Jungkook harus lebih merasakan malu yang lebih besar daripada rasa malu Rose!

Tapi, ia tak mau mempermalukan diri, ia tak mau merusak hidup yang sudah berantakan ini. Alih-alih menata hidup, ia harus membongkar aibnya? Jelas tidak mungkin! Tapi...

"Gue yakin sebejat-bejatnya kita, kita nggak akan mungkin menyakiti orang lain, apalagi membunuh, iya kan Rose?"

Lagi-lagi Rose menanggapi ucapan Mika dengan ejekan, kali ini ia tersenyum remeh dan berpaling, Rose kembali melangkah dengan yakin, ia makin mantap melakukannya setelah bertemu dengan Ally yang terbaring lemah diranjang rumah sakit. Persetan dengan hati nurani, toh dari awal bayi ini tidak pernah diharapkan oleh kedua belah pihak kan? Ekspresi Jungkook yang begitu terpukul setelah mendengar kabar kehamilan Rose adalah bukti. Jika dari awal, bayi ini tak layak lahir ke dunia ini.

Pentagon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang