"Lagian kenapa lo baru tanya umur gue sekarang, bukannya dari dulu awal ketemu?" lanjut Lura bertanya.
Langit berdehem. "Ya buat mastiin aja sekarang lo kelas berapa."
Lura mengangguk, tak lama arwah gadis itu membulatkan matanya. "Lang, gue ... harus pergi, ada urusan penting. Bye!"
Langit yang sudah membuka mulutnya pun menutupnya kembali. Lelaki itu berdecak, namun tak urung ia juga penasaran kemana perginya Lura, kenapa terlihat panik dan buru-buru?
"Ngapain gue mikirin dia? Biasanya juga suka ngilang tiba-tiba." Langit menaikan bahunya, berusaha abai dan mulai merebahkan tubuhnya, siap berkelana ke alam mimpi. Tak butuh waktu lama, ia pun terlelap damai di balik selimut tebal yang menghalau hawa dingin.
Langit mengerjabkan matanya, ia celingak celinguk menatap sekeliling. Di sini begitu gelap, namun ia masih bisa melihat karena sedikit cahaya bulan yang masuk melalui celah ventilasi.
"Gue dimana?" gumamnya bertanya tanya. Langit mencoba melangkah untuk mencari jalan keluar dari ruangan ini yang seperti tak berujung.
"Langit."
Lelaki yang merasa terpanggil itu pun mengalihkan pandangannya. Di depan sana, kira-kira berjarak sepuluh kaki dari tempatnya berdiri, terlihat seorang gadis yang wajahnya tak begitu jelas, namun rambutnya begitu panjang, hampir selutut.
"S-siapa lo?" tanya Langit sedikit terbata.
Gadis itu menatap tepat di manik mata Langit. Lelaki itu sempat terpaku saat melihat kekosongan di mata sang gadis. Awalnya Langit merasa ngeri melihat tampilan gadis itu, namun setelah menatap matanya, rasa ngeri itu lenyap, berganti dengan debaran aneh yang ia sendiri tak tau apa artinya.
"Tolong," ucap sang gadis dengan tangan terulur, seperti mencoba meraih Langit.
Langit tersadar dari lamunannya. Ia menatap wajah sang gadis yang menyendu, perlahan tapi pasti, mata gadis itu mengeluarkan cairan berwarna merah pekat. Langit membulatkan matanya.
"M-mata lo, b-berdarah!" seru Langit panik, sambil menunjuk nunjuk wajah sang gadis.
Langit memundurkan langkahnya saat gadis itu merangkak mendekatinya, keringat dingin mulai menetes di dahi Langit saat melihat wajah gadis itu sudah penuh darah, ditambah mulutnya menggumamkan kata 'Tolong' dengan tangan terulur.
"M-mundur, jangan deket-deket gue!"
Langit makin melangkah mundur, berusaha berlari menjauh dari gadis itu. Namun matanya tak bisa diajak kompromi, tatapannya justru masih terpaku pada sang gadis, seolah ada magnet yang membuatnya tak bisa berpaling.
"Tolong, Langit."
Sedikit lagi, tinggal beberapa jengkal lagi tangan gadis itu berhasil menyentuhnya. Langkah Langit pun terasa semakin berat, saat hendak berlari, sebuah tangan dingin menahan pergelangan kakinya, membuat Langit terdiam kaku dengan wajah pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Teen FictionTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...