28. Fakta Mengejutkan

11.5K 1.6K 193
                                    

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Sosok lelaki yang duduk di pojok sendirian, tampak terburu-buru membereskan barangnya.

"Eh Lang, jangan lupa entar malem!" seru Sean dari tempat duduknya. Langit membalas dengan acungan jempol, ia langsung ngacir keluar dari kelas.

"Mau ngapain emang, Se?"

Sean menoleh pada sosok gadis yang tampak penasaran, menanti jawabannya.

"Mabar," jawab Sean. Cindy mengangguk paham.

***

"Mau kemana kamu? Jangan keluyuran!"

Leon menegur Langit yang berjalan mengendap-endap. Pria berusia hampir setengah abad itu menurunkan kaca mata bacanya, menatap tajam sang putra.

Langit menggaruk alisnya, mencoba berpikir alasan apa yang akan diberikan pada ayahnya.

'Ck, lagian kenapa si singa ada di rumah sih?!'

Langit membatin kesal.

"Ke rumah temen, ngerjain tugas kelompok."

Mata Leon memicing tak percaya. Putranya yang badung itu mau susah-susah mengerjakan tugas kelompok?

"Jangan bohong sama Ayah. Mau kemana kamu sebenernya?"

Langit merubah raut wajahnya menjadi serius. "Aku nggak bohong. Bukannya Ayah sendiri yang bilang, kalo di sekolah baru aku harus berubah?"

Alasan logis, ditambah raut meyakinkan Langit, membuat Leon mau tak mau sedikit percaya. Pria itu menghela napas.

"Ya udah sana!" Leon mengibaskan tangannya. Mengisyaratkan Langit untuk pergi.

Senang bukan main. Langit mengembangkan senyumnya. Bahkan lelaki itu mencium punggung tangan Leon.

"Aku berangkat dulu Yah."

Leon tersenyum kecil. Menatap punggung tegap putranya yang mulai menjauh. Sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah di hati Langit karena telah membohongi ayahnya.

***


Rumah Sakit Medika.

Langit berjalan menuju resepsionis sendirian. Sejak tadi ia mencari Lura, namun gadis itu tak kunjung muncul. Akhirnya ia memilih beraksi sendirian.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu Mas?"

Langit berdehem. Ia mengetuk meja resepsionis dengan telunjuknya, sebelum menjawab.

"Boleh saya liat daftar nama pasien disini?"

Wanita dewasa di depannya mengernyit. "Maaf sebelumnya, untuk apa ya? Karena kami juga menjaga privasi pasien. Jika bukan hal penting--"

"Begini Mbak." Langit memotong. Sejenak ia terdiam, bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Saya mau nyari temen saya yang kemungkinan dirawat di rumah sakit ini," lanjutnya.

Resepsionis tadi mengangguk paham. "Nama temennya siapa? Biar saya cek."

Langit menjawab, "Lura Berliana."

𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang