31. Dia Orangnya!

11.4K 1.6K 124
                                    


"Ikat rambut itu milik cucu saya. Ratu Alura Berliana, jadi serahkan pada saya!"

Kakek yang belum diketahui namanya itu, menyodorkan tangannya pada Langit, mengisyaratkan agar remaja itu memberikan benda di tangannya.

"T-tunggu, siapa tadi namanya?"

Lean mendengkus. "Lo budeg?" Kentara sekali bahwa lelaki itu tidak menyukai Langit. Kakek menghela napas, sebelum menjawab.

"Ratu Alura Berliana."

Langit masih terdiam, memutar otaknya. Itu dia namanya! Ratu Alura Berliana, bukannya Alucard-- ah, tidak perlu diingat. Langit menggeleng, tangannya dengan kaku akan menyerahkan benda di tangannya.

Namun saat beberapa senti lagi benda itu berpindah tangan, tiba-tiba Langit menarik tangannya. Membuat kedua lelaki di depannya sedikit menyipitkan mata, kesal.

"Kenapa?" tanya kakek dengan dahi berkerut.

Langit menatap ikat rambut di tangannya. Memikirkan risiko jika ia memberikan benda itu pada mereka. Artinya, Lura tidak akan bisa berada di sekelilingnya lagi?

'Nggak boleh, nanti kalo mereka ngilangin ikat rambut ini, bisa aja terjadi sesuatu sama Lura. Karena gue baik, gue nggak akan kasih mereka!'

Otak padat Langit langsung memberikan respon ketidaksetujuannya. Ia menggeleng beberapa kali, membuat kakek dan Lean makin bingung.

"Biar saya saja yang simpan, takutnya kalo sama kalian, ilang." Dengan gerakan malas, Langit memasukan benda itu ke saku celananya.

Mendengarnya, Lean mendecakkan bibirnya. "Lo pikir kita bakal ngilangin barang kesayangan Ratu?!"

Langit mengangguk dengan kelopak mata merendah, tatapannya terlihat malas melihat Lean yang mencak-mencak tak terima, hampir saja lelaki itu menarik kerah Langit jika tak dihentikan oleh kakek.

Reaksi pria paruh baya itu lebih normal, maksudnya tidak meledak-ledak seperti lelaki yang usianya lebih muda di sampingnya--yang Langit sendiri sudah lupa siapa namanya.

'Ck, dasar bocah.'

"Sedekat apa hubungan pertemanan kamu dengan Ratu?" tanya kakek mulai menginterogasi.

Langit menggaruk pelipisnya, bingung harus bagaimana menjelaskannya. Jika ia bicara yang sebenarnya, mereka pasti menganggapnya gila.

"Panjang ceritanya. Intinya saya sudah mengenal Lura dari beberapa bulan yang lalu."

Kakek mengangguk, Lean yang lelah pun memilih duduk di sofa, memerhatikan kakeknya yang pasti akan menginterogasi Langit lebih detail.

"Satu sekolah dengan Ratu?"

Sejujurnya, Langit sedikit asing mendengar nama Ratu. Ia sudah terbiasa memanggil arwah itu Lura, maksudnya--Kura.

Tapi, nama Ratu tidak buruk juga. Cocok jika disandingkan dengan nama depannya, Raja Langit Adhitama, eh? Langit tersadar dari lamunan absurd-nya.

"Iya," balas Langit seadanya.

Sejujurnya kaki Langit terasa sedikit pegal, kakek tua itu sepertinya tidak peka.

"Kelas?"

Langit menjawab dengan wajah lempeng, karena mulai kesal ditanya ini itu. "Sebelas IPS 2."

Entah ada apa, namun pandangan kakek dan Lean makin terasa intens setelah Langit menyebutkan kelasnya. Membuat sang empunya merasa risih ditatap oleh sesama jenisnya.

"Satu kelas dengan Ratu?" Pertanyaan dengan nada sarat keingintahuan itu keluar dari mulut Lean setelah beberapa saat terdiam.

Langit mengernyit. Meski sudah lebih dari dua bulan ia bersekolah di sana, Langit sama sekali tak hapal nama teman sekelasnya, bahkan wajah mereka pun terkadang masih terasa asing.

𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang