"Lo dari mana aja sih Kura?!"
Langit menatap nyalang sosok arwah di depannya. Setelah lebih dari tiga hari menghilang, tiba-tiba gadis itu muncul di hadapan Langit dengan wajah tanpa dosa.
Lura menjawab santai, "oh itu gue--"
"Ck! Nggak penting juga." Langit memotong ucapan Lura. Sang gadis mengertakkan giginya, merasa kesal dengan Langit.
Lelaki itu saat ini tengah berada di kamarnya. Dengan kaos hitam polos dan boxer diatas lutut, Langit merebahkan tubuhnya di kasur dengan nyaman.
Ting!
Langit merubah posisi ponselnya yang semula miring menjadi semestinya. Ia berdecak melihat pesan menyebalkan pada room chat nya.
Lura yang entah sejak kapan sudah duduk di samping Langit pun otomatis melihat pesan itu.
"Anjir!" Langit spontan menjauhkan tubuhnya dari Lura saat sadar jarak keduanya begitu dekat.
Lura mengedip beberapa kali, ia masih menatap layar ponsel Langit. Senyuman aneh mengembang di wajahnya, membuat Langit makin bergidik.
"Gue yakin lo belum ngerjain tugas itu kan, Lang?"
Yang ditanya tak begitu peduli, ia beringsut menyender pada kepala kasur, dan kembali fokus memainkan ponselnya dengan posisi miring.
Lura yang merasa diabaikan pun geram. "Langit budeg!" pekiknya dengan suara melengking.
Langit menggosok telinganya yang berdengung menyakitkan. "Ck, kalo gue belum ngerjain emang apa urusannya sama lo?!"
"Ya emang bukan urusan gue, tapi tetep aja. Sekarang bukannya lo masih dihukum ayah lo? Bayangin kalo lo nggak ngerjain tugas, masih mending cuma dihukum, lah kalo gurunya ngadu sama ayah lo, gimana?"
Langit menurunkan kelopak matanya, tatapannya terlihat malas. "Tapi gue males mikir."
Tugas untuk besok adalah membuat puisi. Otak tumpul Langit sedang tidak bisa diajak kerja sama, jika dipaksakan, Langit takut otaknya cedera.
"Males mikir? Terus tujuan lo sekolah apa?!"
"Disuruh bokap," jawab Langit sejujurnya. Lura menghela napas, ia menatap Langit tak habis pikir.
"Setidaknya lo punya cita-cita 'kan?"
Langit mengangguk. "Ada. Jadi pengangguran kaya raya."
Lura tersenyum paksa. Ia memijit pelipisnya yang sebenarnya tidak pusing. Lelaki di depannya ini benar-benar tidak punya rencana masa depan. Ia selalu mengandalkan ayahnya dalam setiap kesulitan. Langit tak pernah berpikir bahwa ia berlomba dengan waktu, dengan sisa umur kedua orangtuanya.
"Lang, otak lo hasil giveaway ya?"
Langit kembali mengangguk tanpa beban. "Kayaknya."
Lura berdecak sebal. "Ck, udahlah makin ngadi ngadi. Back topic, kerjain tugas lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Teen FictionTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...