"Siapa ya? Kamu tau nama saya?"
Pertanyaan gadis itu membungkam mulut Langit. Matanya menatap lekat manik kecoklatan di depannya. Meniti tiap inci wajah dengan polesan make up tipis itu tanpa kedip.
Seolah waktu terhenti, keduanya saling menatap dalam diam. Mencoba menyelami manik masing-masing, menyalurkan rasa yang bercampur menjadi satu dalam hati.
Rasa ingin terus menatap, rasa ingin saling mendekap untuk pertama kalinya, rasa ingin menyerukan betapa keduanya saling merindu tanpa sadar, dan rasa canggung yang lebih mendominasi, membuat bibir keduanya terkunci rapat.
"Udah kali Lang, liatinnya gitu amat. Emang kamu kenal sama dia?" tegur Leon, memutuskan kontak keduanya. Dengan kompak mereka saling membuang muka.
"E-enggak, c-cuma tau nama doang." Langit menjawab gelagapan. Dimana jawaban itu memancing Lura untuk kembali menatapnya, dengan alis mengkerut. Seolah ingin mengatakan sesuatu, namun ia urungkan.
Suasana kembali canggung antara Langit dan Lura. Sedangkan para orang tua, melanjutkan bincang-bincang mereka dengan polisi untuk membahas lebih lanjut kasus yang menyangkut sang putri.
Sejak tadi, Cindy sudah memerhatikan interaksi Langit dan Lura. Ia berdecih dengan tatapan sinis pada keduanya, sedangkan Yoga yang duduk di samping gadis itu hanya menunduk, seolah tak memiliki harapan lagi.
'Gara-gara dia bangun, gue jadi ada di sini!'
Dalam hati Cindy tertanam kebencian yang sangat besar untuk Lura yang sedari tadi diam, larut dengan pikirannya sendiri.
"Sekali lagi terimakasih, Pak!"
Leon dan Yuna bangkit dari duduknya, menyalami polisi bergantian, setelah itu memberikan senyum penuh terimakasih pada Lura, yang dibalas senyum manis dan anggukan gadis itu. Langit ikut bangkit. Sebelum kedua orang tuanya melangkah menjauh, ia sempat menoleh ke belakang, menatap sosok gadis yang saat ini juga menatapnya lekat.
Bibirnya digigit, ia ingin mengucapkan sesuatu, meski rasanya sangat susah. Tenggorokannya terasa tercekat, setelah beberapa saat menimang, akhirnya kata perpisahan terucap dari bibir merahnya.
"Duluan."
Lura membalas dengan anggukan dan senyum tipis, memandang punggung Langit yang makin menjauh dengan rumit. Sesuatu dalam dirinya seperti merasa ditarik untuk mendekat pada lelaki itu, namun buru-buru ia menggeleng.
Mereka baru bertemu hari ini, mungkin sebelumnya keduanya satu sekolah, namun Lura merasa tak pernah melihat Langit di sekolahnya.
"Mungkin cuma perasaan gue aja," gumam Lura. Sebelum akhirnya ia ikut bangkit, bercakap-cakap dengan polisi sedikit untuk basa basi. Cindy dan Yoga sudah dibawa ke dalan sel sejak kepergian Leon dan Yuna tadi.
****
"Akhirnya semuanya selesai." Leon berucap dengan nada penuh kelegaan. Yuna mengangguk dengan raut serupa. Mereka saat ini tengah melanjutkan perjalanan menuju rumah baru.
Lain halnya dengan Langit yang tampak gelisah dalam duduknya. Ia tengah merasa was-was, berkali-kali menoleh ke belakang, berharap seseorang mengikutinya, namun orang yang dimaksud bahkan tak menunjukkan batang hidungnya.
"Kamu kenapa belingsetan gitu, Lang?" tanya Yuna yang duduk di sebelah Langit, merasa tak nyaman dengan gerakan gusar sang putra.
Langit membenarkan duduknya. "Nggak papa."
Jawaban singkat lelaki itu membuat Yuna mengangguk saja. Setelahnya, Langit berusaha tak menoleh ke belakang lagi. Ia juga tak bisa fokus ke depan, oleh karena itu ia memilih memainkan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Teen FictionTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...