Seorang lelaki dengan seragam kusut saat ini tengah berbaring menatap langit yang tampak biru. Sebelah tangannya dijadikan bantalan.
Langit, saat ini berada di taman belakang sekolah. Menikmati waktu istirahat dengan melamun, ia tidak ke kantin karena tak punya uang.
Ia memegang perutnya yang sedikit bergemuruh. Seumur-umur, baru sekarang Langit merasa miskin. Tak punya sepeserpun uang, tak bisa membeli makan walau hanya sepotong roti berharga seribu rupiah.
'Nyesel gue selama ini nggak mungut koin lima ratusan di jalan.'
Dalam benaknya terpikir, andai ia mengambil koin yang menurutnya tak berharga saat itu, pasti setidaknya ia bisa membeli satu gelas air mineral untuk mengganjal perut.
Krusuk!
Krusuk!
Sontak Langit bangkit dari rebahannya saat mendengar gerusukan dari semak-semak. Matanya menatap sekeliling dengan waspada.
"Hahaha, kocak bener. Si goblok itu mau mau aja dikibulin."
"Jangan berisik Sat! Ntar ketauan guru."
"Iya elah."
"Nah tuh cewek udah dateng!"
Langit mulai bergidik saat mendengar cekikikan dari balik semak itu. Pikirannya sudah kemana-mana, memikirkan kemungkinan terburuk sosok di balik semak.
'Apa itu Setan? Tapi ... mana ada Setan cekikikan suaranya gede gitu.'
Langit menepis pemikiran sebelumnya. Setahunya, suara kikikan setan itu melengking khas perempuan, bukan nge-bass seperti yang barusan didengarnya.
Karena penasaran, Langit berjalan mendekati semak itu tanpa menimbulkan suara. Perlahan menyibak ranting-ranting kecil yang menghalangi penglihatannya.
ANJ--
Mata Langit membola saat melihat melihat sesuatu di depannya. Beberapa siswa lelaki yang wajahnya sedikit familier di penglihatannya, dan seorang gadis yang juga sangat ia kenali.
Yoga dan kawan-kawan, serta Cindy. Kelakuan mereka Langit amati dengan mata memicing.
Mereka terlihat tengah beradu mulut, dalam artian berdebat. Langit memosisikan dirinya di tempat yang sekiranya bisa untuk menguping tanpa ketahuan.
"Gimana kondisi adek lo?"
Yang bertanya itu Yoga, gadis yang ditanya merespon dengan gelengan lemah. Tampak tangan Yoga yang mengepal, seperti menahan emosi.
"Si brengsek itu?" tanya Yoga dengan nada rendah.
Cindy yang ditanya menghela napas. "Dia bebas. Polisi nggak bisa nangkep karena ayahnya udah bayar denda."
"Kalo polisi nggak bisa hukum dia, biar gue yang ngasih pelajaran, yang bakal dia inget seumur hidupnya." Mata Yoga berkilat tajam, sarat tekat yang kuat.
Cindy memegang tangan Yoga yang mengepal. "Jangan sakitin dia, gue mohon."
Yoga berdecak dengan senyum miringnya. "Naksir lo sama dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Ficção AdolescenteTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...