"Kamu gila?" Pertanyaan lolos dari bibir sosok paruh baya yang duduk di samping brankar, tempat dimana seorang gadis-dengan perban melilit kepalanya- terbaring, terlelap damai selama tidur panjangnya.
Langit tak gentar, meski kini seluruh pasang mata di ruangan itu memusatkan perhatian padanya. Lelaki itu justru melirik brankar, memicingkan mata, mencoba melihat wajah gadis yang terbaring agak jauh darinya.
"Heh, ngapain lo liatin adek gue kayak gitu?!"
Seorang lelaki yang usianya tak beda jauh dengan Langit, menegur dengan nada sedikit tinggi. Ia bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Langit yang masih terpaku di depan pintu, ditemani sosok arwah yang juga tertegun.
Pandangan keduanya tertuju pada wajah gadis yang terbaring di atas brankar, kini wajah pucat itu terlihat jelas. Karena sebelumnya terhalang punggung lelaki yang saat ini sudah berdiri di depan Langit.
"Dasar nggak sopan, masuk ruangan sembarangan, nggak ngetuk pintu, main nyelonong aja. Keluar sana lo!"
Lelaki itu mendorong pundak Langit sedikit kuat. Sang empunya tertatih, ia menahan daun pintu yang akan kembali tertutup, menggunakan kakinya.
"Tunggu!" Langit mencoba menahan pintu bercat putih itu, kala yang di dalam makin menariknya kuat.
"Apa lagi?" tanyanya mulai jengah. Langit kembali menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan berbau obat-obatan itu.
"Nama dia ... siapa?" Mata Langit menatap bergantian antara brankar dan lelaki di depannya.
Lelaki dengan kaos merah di depan Langit memicingkan matanya seraya bersedekap dada.
"Ngapain nanya-nanya? Udah sana pergi!" Ia kembali mengusir Langit, namun si empunya tetap kekeh tak mau pergi sebelum mengetahui nama sang gadis.
"Lura, namanya Lura kan?"
Acara tarik menarik pintu ruangan pun terhenti saat Langit mengucapkan kalimat itu. Tak hanya lelaki di depannya yang tampak terkejut, seluruh pasang mata di sana pun sedikit membulat.
Tubuh transparan Lura bergetar saat ini, tanpa sebab yang jelas, matanya memanas. Saat hendak membuka mulutnya, tubuh arwah itu seperti ditarik paksa oleh sesuatu. Sampai akhirnya menghilang entah kemana.
"Tau dari mana lo?" tanya lelaki di depan Langit dengan nada rendah.
Aura di sekitar sana mendadak kaku setelah kalimat yang Langit lontarkan. Seolah ia baru saja mengucapkan kata terlarang, mereka yang sebelumnya sudah menatapnya tak suka, kini tatapan mereka bertambah tajam, seolah ada laser yang keluar dari sana.
"Lura, temen gue." Dengan lancar Langit menjawab.
Mereka kompak saling pandang. Seakan tak percaya dengan ucapan Langit, kini sosok paruh baya yang sepertinya kepala keluarga, berdiri dan mendekati Langit. Dengan aura yang kental dan mata tak lepas memandang Langit, sedikit membuat nyali si empu goyah.
'Tuh Kakek tua nyeremin banget, Anjir!'
Langit tak lupa mengumpati Lura yang tiba-tiba menghilang disaat genting seperti ini. Sejenak pria paruh baya yang dijuluki 'Kakek Tua' oleh Langit, terdiam di hadapan lelaki yang mengaku sebagai teman Lura.
"Kamu temannya?"
Suaranya masih terdengar berat, seolah usia senjanya tak berpengaruh. Langit yang sebelumnya goyah pun kembali membulatkan tekatnya, mau mundur pun sudah nanggung.
"Iya saya teman Lura." Mendengar jawaban tegas Langit, pria di depannya mencoba menatap Langit lebih lekat.
"Tapi, tidak ada teman cucu saya yang memanggilnya dengan nama itu."
Pria itu mencoba mengintimidasi Langit lewat tatapannya. Si empu tiba-tiba terdiam, bingung harus menjawab apa. Tiba-tiba lelaki yang tadi saling tarik pintu dengan Langit, mendorongnya keluar.
"Udahlah, mungkin lo salah orang. Nama adek gue bukan Lura, tapi Ratu!"
Langit memberontak, ia kembali menahan pintu yang sudah akan tertutup. Mata lelaki itu menyiratkan tekat yang sangat kuat. Seolah ingin membuktikan bahwa dia tidak salah orang.
"Kalo gitu, biarin saya melihat lebih dekat wajah cucu anda." Langit menatap pria paruh baya di depannya.
Pria itu menghela napas melihat kegigihan Langit yang tidak mau pergi bahkan ia sudah diusir secara terang-terangan.
"Baiklah, sebentar saja."
"Kek!" seru lelaki tadi, seolah tak terima kakeknya mengizinkan orang asing mendekati adiknya.
Pria itu menatap cucu sulungnya sambil mengangguk. "Biarkan saja."
Pandangan mereka beralih pada Langit yang sudah mulai mendekat ke arah brankar. Mata lelaki itu tak lepas dari wajah pucat gadis di depannya.
Saat ia mengangkat tangannya untuk menyentuh kulit seputih salju itu, jantungnya tiba-tiba saja berdebar lebih cepat dari biasanya. Debaran asing yang belum pernah ia rasakan selama tujuh belas tahun hidup di dunia ini, begitu menyenangkan dan terasa menggelitik perutnya.
"Ngapain lo pegang-pegang adek gue?!"
Ah, si lelaki cerewet itu. Mengacaukan kesenangan Langit, ia barusan menepis tangan Langit yang mengelus pipi sang gadis.
"Lean!" tegur pria paruh baya yang sejak tadi mengawasi. Lelaki yang dipanggilnya tampak menunduk.
"Maaf Kek."
Langit mengalihkan pandangannya kembali pada pria paruh baya itu. "Ini Lura, teman saya. Nggak mungkin saya salah orang, wajahnya benar-benar mirip."
Lean menatap tak suka pada Langit. "Udah dibilang namanya bukan Lura!"
Langit membalas tatapan Lean tak kalah sengit. "Tapi ini muka Lura!"
Pria paruh baya di depannya memijit pelipisnya pelan. "Sudah sudah, jangan ribut disini. Kasian Ratu."
Keadaan hening, dengan kedua manusia sesama jenis yang masih berpandangan sengit. Juga suara mesin pendeteksi detak jantung yang berbunyi normal.
"Kamu bilang, kamu temannya Lura?"
Akhirnya si kakek lebih dulu bertanya, memecah ketegangan di ruangan dengan cat putih itu. Langit buru-buru mengangguk. Lean sendiri mendengkus dan berjalan kembali menuju sofa, mendudukkan dirinya di sana.
Si kakek terdiam beberapa detik. "Kalau begitu, buat saya percaya kalau kamu benar-benar teman Lura."
Langit segera merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda yang selalu dibawanya kemana-mana belakangan ini. Menunjukan benda itu pada mereka.
Ikat rambut milik Lura yang diberikan pada Langit oleh sang empunya. Ikat rambut langka dan hanya ada satu di dunia, karena dibuat oleh Lura sendiri dengan bahan kain perca seadanya.
Kedua pria berbeda usia di depan Langit menatap lekat benda itu. Tatapan mereka sangat sulit ditebak, membuat Langit menerka-nerka dalam hati.
"Ini ... punya Ratu." Lean hendak mengambil ikat rambut di tangan Langit. Namun si empu lebih dulu menarik tangannya, menjauh dari Lean.
"Siniin!" Lean menatap Langit menuntut. Langit menyembunyikan tangannya di balik tubuhnya.
"Nggak!"
Lean makin geram. "Siniin!"
"Gue bilang nggak ya nggak! Lo budeg?!"
"Itu punya Ratu, adek gue!"
Langit melengos saat Lean hampir berhasil meraih benda di tangannya. "Ini punya Lura bukan Ratu!"
"Stop!" Si kakek akhirnya menegur kedua lelaki yang sedari tadi tak akur, kini malah terlihat seperti berebut mainan.
"Ikat rambut itu milik cucu saya. Ratu Alura Berliana, jadi serahkan pada saya!"
***
Ig: @lalae_mtrsr
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar, love you all❤Note: Part selanjutnya akan di up lusa, 16 Januari 2022

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Teen FictionTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...