"Nggak salah dong kalau aku mau nyingkirin dia?"
Senyum miring terbit di bibir Cindy, raut wajahnya terlihat memuakkan di mata Langit.
"Jangan main-main lo!" Langit menajamkan matanya, memberi tatapan intimidasi pada gadis yang saat ini sudah berancang-ancang menusukan silet ke mata Lura.
"Aku nggak pernah main-main sama omongan aku, Langit. Kamu tau kan?" tanya Cindy lembut, seolah kalimatnya barusan bukan sebuah ancaman.
Langit jelas tak akan lupa, bagaimana nekatnya Cindy. Gadis itu bahkan tak menunggu lama untuk melaporkannya ke polisi setelah ia melanggar perjanjian konyol mereka.
"Bilang, apa mau lo?" Pertanyaan pasrah itu keluar dari bibir merah Langit. Raut Cindy makin berseri mendengarnya.
"Masih sama, kamu jadi pacar aku."
Langit terlihat ragu, ia sedikit tak percaya. Hanya karena status hubungan, Cindy sampai senekat ini. Gadis itu tak ragu mencelakai orang lain. Ia mengingat kembali percakapan Cindy dengan Yoga kala itu.
Soal adik Cindy yang menyukainya, namun malah berakhir terbaring di rumah sakit. Jika adiknya bangun dan tau bahwa Cindy menjalin hubungan dengan Langit, bukankah gadis itu akan sakit hati?
'Gue nggak peduli mau dia sakit hati atau nggak. Tapi, harusnya si Lampir ini mikirin perasaan adiknya.'
Penilaian Langit tentang Cindy semakin buruk. Selain nekat, Cindy juga termasuk egois. Tidak mau memikirkan perasaan orang lain, bahkan saudaranya sendiri.
Sebenarnya tak jauh beda dengan Langit. Tapi, yang tak Langit pikirkan adalah masalah mereka, kalau soal perasaan pada lawan jenis, ia mungkin akan mengalah dengan saudaranya.
"Terserah."
Tak ada pilihan lain, Langit menurunkan egonya demi keselamatan Lura, setidaknya untuk saat ini. Setelah memastikan kondisi Lura benar-benar aman, tentu saja Langit akan berpikir bagaimana caranya menjauhkan Lura dari jangkauan Cindy.
"Hehehe, gitu dong."
Langit bergidik melihat senyuman Cindy layaknya orang gila. Entah apa yang ada di otak gadis itu, begitu mudah suasana hatinya berubah.
"Jadi, sebaiknya pasien dibawa ke rumah sakit yang lebih canggih dan lengkap alat-alat nya."
"Kira-kira berapa persentase berhasilnya, Dok?"
"Kurang lebih sekitar—"
Ceklek!
Dua pria paruh baya mematung di depan pintu. Netra mereka memandang dua remaja berbeda jenis yang kini tampak terdiam kaku.
"Kamu lagi." Itu suara kakek Lura. Matanya memicing pada Langit yang terlihat berantakan, sebelum menatap Cindy tajam. Melihat gerak-gerik gadis itu yang mencurigakan.
"Ngapain kalian di ruangan cucu saya?" tanya kakek dengan alis menukik. Dokter yang tadi mengobrol bersamanya hanya diam di ambang pintu.
Langit menggaruk tengkuknya kikuk. Cindy meneguk ludahnya kasar, silet tadi ia sembunyikan di balik tubuhnya. Sebentar lagi, kakek pasti akan menyadari sesuatu yang berbeda di ruangan ini—
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Teen FictionTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...