Satu keluarga Adhitama yang beranggotakan dua lelaki dan satu wanita, terlihat tengah sibuk memasukan beberapa barang ke mobil Pajero berwarna putih, dibantu seorang pria paruh baya dengan seragam hitam, khas seorang sopir pribadi.
"Udah nggak ada yang mau dibawa lagi?" tanya si kepala keluarga, Leon Adhitama.
Yuna memasukan satu tas terakhir yang dibawa Langit. "Sudah semua."
Leon menutup bagasi mobilnya. Ketiga orang itu mengitari mobil, Leon duduk di bangku depan samping sopir, Yuna dan Langit duduk di kursi belakang. Memosisikan diri dan menarik seatbelt.
Sebelum mobil yang ditumpangi benar-benar berjalan, Langit menatap rumah besar yang sudah tidak akan ditinggalinya lagi, gerbang menjulang itu sudah digembok rapat.
Yuna yang melihat sang putra menatap lekat rumahnya pun menghela napas, tangannya mengelus bahu Langit, membuat sang empunya refleks menoleh.
"Kenapa?" tanya Langit dengan alis berkerut.
"Kamu keberatan kalau kita pindah?" tanya Yuna yang bahkan sudah jelas jawabannya.
Tentu saja Langit sedikit keberatan, ia dilahirkan dan dibesarkan di rumah ini. Rumah ini menjadi saksi pertumbuhan Langit dan almarhumah adiknya. Juga menjadi saksi saat saat kebersamaannya dengan seseorang?
Namun, bagaimanapun juga ia tak bisa memaksa kedua orang tuanya untuk tetap tinggal. Masalah ekonomi menekan mereka agar hidup lebih hemat, mungkin juga Tuhan ingin sedikit menguji mereka dengan mengambil harta mereka.
"Nggak Bu, hanya sedikit ... mengenang untuk terakhir kalinya." Senyum kecil terbit di bibir merah lelaki itu, rautnya seolah menenangkan sang ibu agar tidak perlu memikirkan dirinya.
Dari spion, Leon melihat, telinganya mendengar setiap percakapan dua orang kesayangannya. Diam-diam dia tersenyum kecil, begitu bangga karena Langit tak mengeluh soal finansialnya yang menurun.
"Jalan, Pak," titah Leon pada sang sopir yang duduk di bangku kemudi. Kendaraan beroda empat itu melaju perlahan, meninggalkan halaman rumah yang sangat luas.
Tanpa mereka semua sadari, jendela salah satu kamar rumah itu mendadak terbuka kencang. Padahal tidak ada siapapun di rumah itu, serta semua pintu dan jendela sudah dikunci.
Tampaknya, selain meninggalkan rumah itu, mereka juga meninggalkan sosok lain yang memang harus ditinggalkan.
****
"Kita ke kantor polisi dulu, ya? Ayah baru dapat kabar kalau gadis itu dan temannya sudah ditangkap."
Leon menoleh ke belakang, menginformasikan pada anak dan istrinya soal pesan yang baru ia terima dari pihak kepolisian. Sontak dua orang yang duduk di jog belakang pun melengkungkan bibirnya, lega. Akhirnya setelah berbulan-bulan, kasus ini membuahkan hasil.
Namun, Langit seolah belum yakin dengan ucapan sang ayah, mengingat akar terhambatnya kasus itu karena saksi mata yang tidak ada kabar.
"Tapi, saksinya—"
Leon tersenyum, memasukan kembali ponsel pintarnya ke saku celana. "Saksi sudah ditemukan dan sudah memberikan keterangan."
Yuna berucap syukur beberapa kali, ia sangat senang akhirnya almarhumah putrinya akan mendapat keadilan. Yuna sempat tak terima saat kasus putrinya akan di tutup, mengingat kurangnya saksi dan bukti kit forensik.
Langit sendiri terdiam, saksi mata itu ... Lura kan?! Apa gadis itu sudah sadar dari tidur panjangnya? Apa dia sudah sehat kembali? Lalu mengapa dia tidak mengunjungi Langit? Apa jangan-jangan gadis itu melupakannya?! Tiba-tiba saja Langit merasa kesal entah kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Novela JuvenilTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...