Tembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya.
Namun temannya me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tadi sore, lo kemana aja? Kenapa nggak muncul?"
Langit dan sosok gadis arwah saat ini tengah berbaring di atas kasur milik lelaki itu. Keduanya berbaring dengan posisi miring, saling berhadapan.
Lura menyangga kepalanya dengan satu tangan, menghadap Langit. "Ada urusan. Kenapa emang?"
Langit mengalihkan pandangannya saat dirasa jaraknya terlalu dekat dengan Lura. Ia terbatuk singkat.
"Gue tadi ke rumah sakit, nyari tubuh lo. Tapi lo nya ditungguin nggak muncul muncul."
Lura menatap lekat sosok lelaki dengan kaos putih di hadapannya. "Lang ... kenapa lo segitunya mau bantuin gue?"
Arwah gadis itu berujar lirih, matanya masih terkunci pada Langit. Sesuatu dalam dirinya sedikit merasa ganjal dengan sikap Langit.
Sudah pernah Lura pikirkan, bahwa kehadirannya sama sekali tidak menimbulkan timbal balik untuk Langit, tapi lelaki itu tetap mau membantunya.
Langit menoleh pada Lura. Tak peduli bahwa jaraknya kembali mendekat. "Nggak tau, gue cuma pengen bantuin lo aja."
Keheningan terjadi beberapa saat. Langit tiba-tiba saja teringat akan kejadian di rumah sakit tadi. Dimana dirinya mau-mau saja menjadi kekasih Cindy karena ancaman gadis itu.
"Kura!"
Lura yang tengah terpejam pun membuka matanya. "Hm?"
"Menurut lo, kalo ada orang yang berbuat salah, terus niat nebus kesalahannya, gimana?" tanya Langit pelan.
"Ya bagus dong, itu namanya tanggungjawab."
Langit mengangguk, ia bergumam, "gitu ya."
Lura mengernyit. "Lo ... ada masalah?"
Tak perlu berpikir dua kali, Lura langsung tau bahwa pertanyaan Langit itu merujuk pada dirinya sendiri. Mengingat lelaki itu tak pernah susah susah memikirkan orang lain.
"Gue mau cerita, tapi lo jangan bilang siapa-siapa!" ujar Langit penuh penekanan.
Lura mengangguk antusias, setidaknya ia sedikit berguna untuk lelaki itu. Ia juga tidak akan membocorkan rahasia Langit.
"Iya, gue janji."
Langit merubah posisi tidurnya menjadi telentang, menatap atap sambil menaruh kedua tangannya di atas perut datarnya.
"Gue udah pernah bilang belum, kalo gue dikeluarin dari sekolah karena nge-bully?"
Lura menggeleng, sebelum akhirnya sedikit membulatkan mata saat menyadari kalimat yang Langit lontarkan.
"L-lo nge-bully? Bukannya adek lo meninggal karena dibully? Harusnya lo--"
"Iya gue tau!" Langit memotong kalimat Lura dengan nada sedikit tinggi. Lura mengatupkan bibirnya. Langit menghela napas.