34. Niat Jahat Cindy

11.2K 1.6K 87
                                    

Minggu pagi. Suasana rumah Langit benar-benar sunyi, tak ada canda tawa di meja makan seperti biasa, tak ada teriakan melengking Yuna untuk membangunkannya, tak ada tatapan tajam Leon yang menceramahinya karena membuat sang istri mengomel.

Langit sungguh merasa kosong, meskipun biasanya ia mengabaikan segala ocehan orang tuanya, tetapi disaat seperti ini justru ia merindukannya.

Langit lebih baik dibentak dari pada didiamkan dan diabaikan seperti ini. Lelaki berusia tujuh belas tahun itu mengacak rambutnya.

"Ngelamun bae Lang? Kesurupan lo?"

Langit tersadar dari lamunannya. Menatap sosok tak kasat mata yang saat ini tengah berkaca dengan meliuk-liukan tubuhnya.

Langit lupa bahwa ada sosok lain yang tinggal di kamarnya, Lura. Ya, dengan hadirnya dia, membuat Langit tak begitu kesepian.

"Gue bingung Ra."

Lura melirik dengan ekor matanya. "Bingung kenapa?"

Langit menatap atap kamarnya rumit, mulutnya terkunci. Tak mendengar jawaban si lawan bicara, Lura menengok sepenuhnya pada lelaki itu.

Dengan langkah pelan, ia mendekati kasur. Sejenak menatap wajah luyu Langit. Lelaki itu tak biasanya memikirkan sesuatu dengan serius, namun sekarang wajahnya tampak seperti tengah memiliki beban berat.

"Lo se-stres itu ya, Lang?" tanya Lura hati-hati. Langit mencengkeram rambutnya hingga kusut, setelahnya menghela napas kasar.

"Gue ... g-gue ngerasa bersalah sama ortu. Setelah kedatangan polisi waktu itu, mereka ngehindarin gue Ra! Gue harus gimana supaya mereka mau maafin gue?" Suaranya melirih, sarat kegusaran dan keputusasaan.

Lura mengangkat tangannya, mengusap bahu Langit, mencoba menguatkan. Meskipun pada kenyataannya, tangannya tetap menembus tubuh lelaki jakung itu.

Langit mendongak, menatap tangan Lura di bahunya yang menimbulkan sensasi dingin, seperti disapu angin.

"T-tangan lo ...." Langit terdiam, menatap Lura yang juga tengah menatap tangannya yang barusan menyentuh Langit.

"Kerasa! Tangan lo kerasa Ra!" seru Langit dengan suara bersemangat. Ia merasakan perkembangan sentuhan Lura, dari yang sebelumnya tidak memberikan efek apapun, sampai akhirnya sedikit terasa, meskipun sensasinya dingin.

Bukan senang, Lura justru tampak panik. Arwah gadis itu memegangi kepalanya yang berdenyut menyakitkan.

"ARGHHH!!" Lura meraung dengan keras, ia menjambak rambutnya untuk mengurangi rasa sakit yang menyerang kepala.

Langit memasang raut panik sekaligus bingung. "Lo kenapa woi?! Jangan bikin gue khawatir!"

Langit sudah mencoba menggapai tubuh Lura, namun tidak bisa. Tubuhnya terlihat makin transparan dan perlahan menghilang.

"R-rumah sakit. T-tolong ke rumah sakit s-sekarang."

Lenyap. Tubuh yang tadinya terduduk lemah di lantai kamar Langit, kini sudah menghilang tanpa jejak.

Si empunya masih terbengong, mencerna maksud kata-kata Lura tadi. Ia mengerjab setelah paham. Bergegas ingin mengambil kunci motor, namun baru ingat bahwa benda miliknya itu sudah disita sang ayah.

𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang