Di sebuah ruangan yang pintunya tertera tulisan Headmaster Room, seorang lelaki dengan seragam yang dikeluarkan, rambut gondrong yang nampak tak pernah disisir, dan wajah sangarnya, saat ini tengah duduk di samping pria paruh baya, yang biasa dia panggil Ayah.
"Mohon maaf Pak Leon, pihak sekolah sudah memutuskan untuk mengembalikan Langit pada orang tuanya. Kami meminta maaf karena tidak bisa mendidik Langit lebih lama lagi." Kepala sekolah berujar sopan pada ayah Langit yang bernama Leon.
Leon menghela napas. "Apa tidak bisa diberi satu kesempatan lagi Pak? Saya yakin kali ini Langit akan berubah." Leon berusaha bernegosiasi.
Kepala sekolah menggeleng. "Sekali lagi maaf Pak. Tapi kesalahan Langit kali ini sangat fatal, bukan lagi membolos atau mengerjai guru. Tapi mem-bully adik kelas sampai koma, anda pasti paham kalau pihak sekolah tidak ingin memiliki catatan kriminal tentang siswanya."
Leon pasrah. Tidak dapat diusahakan lagi nasib Langit di sekolah ini. Pria itu melirik anaknya yang dari tadi diam dengan wajah cueknya. Tampak tak keberatan sama sekali dengan hukuman yang tak tanggung tanggung.
"Kalau begitu silahkan anda tanda tangan di sini untuk surat DO yang nanti pasti akan ditanyakan di sekolah baru Langit. Itu pun kalau dia mau melanjutkan sekolahnya." Kepala sekolah melirik Langit di akhir kalimatnya.
Lelaki itu benar-benar tak peduli, ia malah memainkan ponselnya dengan posisi miring. Terdengar suara tembakan dari ponselnya. Leon sungguh merasa malu dengan kelakuan putranya.
Setelah proses menandatangani surat itu, mereka akhirnya bisa keluar dari ruang kepala sekolah. Leon menyalami kepala sekolah dan keluar menyusul Langit yang sudah ada di mobil.
"Mau jadi apa kamu Lang? Kamu sudah dewasa, harusnya bisa berpikir mana yang baik mana yang buruk. Selama ini Ayah memaklumi kenakalan kamu yang suka membolos dan mengerjai guru. Tapi kayaknya kamu merasa dibebaskan ya, sampai ngelunjak." Leon mengomel sepanjang perjalanan.
Langit yang sibuk bermain ponsel sama sekali tak mendengarkan ocehan ayahnya. Leon dengan geram melempar ponsel Langit ke belakang, barulah lelaki itu merespon dengan pelototan.
"Apa?!"
Leon menghela napas, menghadapi anak seperti Langit sangat butuh kesabaran. Rasanya Leon ingin menukar anaknya dengan Dollar.
"Kamu nggak dengar apa yang Ayah omongin?" tanya Leon geram. Langit memutar bola matanya malas, tangannya hendak meraih ponsel kembali. Namun Leon langsung menepuk tangan Langit dengan sedikit keras.
"Jawab Langit! Atau ponsel kamu Ayah buang." Leon tidak main-main dengan ancamannya.
Langit berdecak kesal. "Lagian tuh anak songong, mukanya pantes jadi bahan bully."
Mendengar jawaban tak memuaskan, Leon semakin geram. Saat lampu merah, ia menatap tajam anaknya yang saat ini menaikan kakinya ke dashboard.
Benar-benar tidak sopan, apa selama ini Leon terlalu mewajarkan segala tingkahnya? Hingga membuat anak itu semakin berlaku semena-mena?
"Mulai sekarang Ayah yang akan pegang ATM kamu dan membatasi pengeluaran kamu. Mobil juga Ayah sita." Leon berucap final.
"Cih."
Langit menendang dashboard dengan kencang sampai Leon terlonjak kaget. Ia menatap marah pada anaknya.
"Mulai kurang ajar ya kamu?! Penampilan kamu juga tidak mencerminkan anak sekolah. Rambut kamu itu sudah gondrong, pumpung di jalan kita mampir ke salon buat potong rambut." Leon kembali menginjak gas nya saat melihat lampu sudah berganti hijau.
Langit mengernyit tak suka. "Apaan, nggak ada potong rambut segala. Ini tuh jimat keberuntungan." Langit mengelus rambut gondrongnya dengan sayang.
Leon menipiskan bibirnya menahan geram. "Potong atau Ayah coret kamu dari KK?" Leon tersenyum kemenangan melihat Langit kicep.
Lelaki itu mendesah kasar. "Oke potong!" putusnya kesal. Langit mengalihkan pandangannya ke jendela. Leon puas, tanpa marga Adhitama, Langit bukan siapa-siapa.
Leon menjalankan mobilnya ke salon pria. Tempat itu menjadi saksi bisu pemotongan rambut Langit yang dia jaga sepenuh hati selama kurang lebih dua tahun ini. Langit menatap miris pada helai demi helai rambutnya yang jatuh ke lantai.
***
Sampai di rumah, Langit kembali mendapatkan omelan dari ibunya. Wanita itu mengomel lebih panjang dari Leon. Yuna, bahkan sempat pangling saat melihat Langit dengan gaya rambut barunya.
"Nah gini kan ganteng, nggak kaya preman." Yuna tersenyum puas, selama ini dia sudah menyuruh Langit potong rambut namun anaknya itu tidak mau. Entah apa yang dikatakan Leon sampai Langit mau memotong rambutnya.
Langit hanya tersenyum paksa. Kepalanya terasa ringan dan kosong. Ah, belahan hatinya sudah tidak ada. Rasanya Langit ingin sekali memenggal kepala Leon jika tidak ingat bahwa pria itu adalah ayahnya.
Makan malam yang diwarnai dengan omelan Yuna untuk Langit pun berjalan lambat bagi Langit. Sedangkan Leon makan dengan tenang, ia menegur istrinya agar berhenti mengomel dan makan dengan tenang.
"Ayah dan Ibu sudah mendaftarkan kamu di sekolah baru. Kamu bisa masuk dua hari lagi." Leon berucap pada Langit yang saat ini tengah berguling-guling di atas karpet bulu.
Lelaki itu langsung bangun dan menatap ayahnya tak terima.
"Sekolah lagi?" Langit bertanya memastikan.
Leon mengangguk. "Memang kamu pikir apa? Berhenti sekolah terus jadi pengangguran?" Pria itu tersenyum mengejek anaknya.
Langit mendengus. "Ribet, langsung kerja terus nikah bisa kan?" Langit bertanya enteng.
Yuna menyeletuk, "memang kamu punya pacar?"
Langit terdiam, tidak ada perempuan yang mau menjadi pacarnya selama ini. Meskipun dia tampan, namun penampilannya yang semrawut dan acak-acakan membuatnya terlihat minus.
Tapi sekarang Langit tiba-tiba merasa percaya diri. Ia menyugar rambutnya ke belakang dengan gaya.
"Kalo punya pacar boleh nikah?"
Yuna dan Leon menggeleng. Langit tak terima, sebenarnya apa mau orang tuanya.
"Nikah nikah, memang kamu pikir nikah muda itu enak? Kamu harus tanggung jawab jadi kepala rumah tangga, menafkahi istri dan anak kamu. Gimana kamu mau ngurusin anak orang kalau diri sendiri saja masih amburadul?" Leon menggeleng melihat Langit yang menggaruk tengkuknya.
Langit menghela napas. "Jadi kali ini sekolah mana lagi?"
Lagi? Memang benar bukan hanya kali ini ia di keluarkan dari sekolah. Terhitung hampir lima kali Langit membuat ulah dan berakhir di keluarkan. Namun kesalahan kali ini yang paling fatal, sampai membahayakan nyawa seseorang.
"SMA Perjuangan."
Langit mengangguk malas dan bergumam. "Yang katanya banyak setannya?"
****Instagram: @lalae_mtrsr
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar❤
Note: Part 2 akan di up besok, 21 November 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐲 𝐒𝐦𝐢𝐥𝐞 [END]
Novela JuvenilTembok putih bagian pojok kantin sekolah penuh dengan warna merah. Banyak coretan abstrak di sana. Langit si murid badung yang suka membolos, melihat seorang gadis mengenakan seragam, berdiri di pojok kantin dan tersenyum padanya. Namun temannya me...