Bab 3 | Retak

396 68 213
                                    

Happy reading, semoga suka dan bermanfaat ya ❤️

"Tingkat mencintai paling tinggi adalah 'ikhlas'." - Jalaluddin Rumi.


Perjalanan Cinta Menuju Jannah


Sekitar pukul tiga sore, setelah selesai mengeles kelas sembilan, Meisya memutuskan menuju Pesantren Ar-Rahman. Untuk menjemput ayahnya yang bekerja sebagai pengajar di sana sekaligus memberikan titipan dari Tante Mia kepada Umi Annisa.

Sesampainya di sana, Meisya menuju ke arah ndalem untuk segera menemui Umi Annisa. Meisya bisa melihat para santri yang sedang bersiap-siap mandi untuk persiapan ta'lim nanti.

Ia tesenyum seraya memberikan salam pada santri putri yang tak sengaja berpapasan saat menuju ndalem.

Sebelum memasuki ndalem, Meisya melihat seorang wanita setengah baya sedang mengobrol dengan Umi Annisa sepertinya Umi Annisa sedang ada tamu. Meisya memutuskan untuk keluar dari area ndalem, tetapi ia tidak sengaja mendengar percakapan Umi Annisa dengan wanita berkerudung cokelat itu.

"Benar,Bu, berita perjodohan di pesantren? Katanya Malik ya yang mau dijodohkan?" tanya wanita berkerudung cokelat itu seraya menatap serius pada Umi Annisa.

"Iya, Bu, benar. Insya Allah Malik setuju dengan perjodohan ini," balas Umi Annisa seraya tersenyum bahagia.

Boom!

Seluruh badan Meisya terasa kaku, ia langsung mematung di tempat dan seketika pupus harapan Meisya untuk berjodoh dengan Malik, hatinya merasa retak seperti hancur berkeping-keping.

Namun, Meisya mencoba tetap tegar padahal ingin sekali ia melangkah pergi, tetapi kakinya terasa kaku dan seperti ada bisikan agar ia mengetahui siapa wanita yang akan dijodohkan dengan Malik.

"Emang siapa, Bu, calon istrinya Malik?"

"Insya Allah Nadira, Bu, cucu dari teman eyang kakung Malik."

"Nadira teman kecil Malik?"

"Iya, Bu."

Allahuakbar!

Tubuh Meisya sepertinya ingin jatuh ke lantai, namun ia mencoba kuat seraya tangan kirinya memegang dinding. Perlahan butiran bening sudah membasahi pipinya, kerongkongannya terasa kering dan juga bibirnya membisu.

Meisya perlahan mundur, lalu langkahnya langsung menuju ayahnya yang menunggunya di masjid pesantren.

Meisya tidak tuli atau pura-pura tuli, ia yakin bahwa Nadira sahabatnya sekaligus teman kecil Malik yang tadi diucapkan Umi Annisa untuk menjadi pendamping hidup Malik. Di sela tangisnya, ia selalu melafalkan kalimat ikhlas, semuanya ia pasrahkan kepada Allah.

Pada sore ini, detik ini, Meisya kehilangan nahkodanya. Nahkoda yang akan membawa kapal kecilnya menuju satu tujuan, tetapi nahkodanya telah menjadi milik orang lain.

Semoga saja ia bisa menghentikan rasa cinta ini terhadap Malik lalu mengikhlaskan sekaligus melepaskan.

"Lawhaula wala quwata illabillah.... Ikhlas Ya Rabb," lirihnya sembari menyeka air mata.

Perjalanan Cinta Menuju Jannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang