Bab 4 (Revisi)

207 73 167
                                    

Typo laporin!

Putar sholawat di mulmet ya^^

Selamat membaca kisah ini.

Vote dulu dan komen.

Salam dari kasur Banjarbaru, anak rebahan mah gitu ya kan? ^^

Kalo kamu lagi di mana? Kasur?

Note : ini tidak genre religi, kenapa? Aku nggak nyertain hadist atau ayat, hanya sebuah perbuatan, jadi cermati setiap kata yaa, karna di dalamnya aku selipin pelajaran agama dikit, buat kalian yang suka Spritual ^^

Jadi baca baik-baik yaa^^, sayang kalian semuah...

Selamat membaca!

Siapin cibiran dikit, wweeekaaa

*

Berhubungan dengan Anak Gamers itu tidak susah. Bila kalian offline, dia juga offline. Bukan untuk mencari yang lain, tapi untuk mabar :)

(Dunia Game)

*

Farid tersenyum manis saat melirik sepiring kornet yang disuguhi oleh Aira tadi, gadis itu sangat sederhana. Kesederhanaan itu menarik Farid untuk mencari tau lebih dalam lagi. Singkat kata, Farid tertarik dengan kehidupan gadis itu.

Ia mengambilnya dan melahap perlahan cemilan kecil itu sembari masih bergeming dengan komputernya.

"Wih, kayaknya lo lagi makan sesuatu, Rid. Bagi-bagi dong," pinta Badali dari dalam komputer.

"Kenapa, Rid? Baru makan, ya, lo?" tanya Dea menimpali.

"Enggak, gue cuma makan cemilan." Lagi-lagi tangan kanannya mengambil satu potongan daging kecil itu. Ia melahap keseluruhannya dan membersihkan tangannya dengan tissue lagi.

"Makan udah, Rid?" tanya Dea lagi.

"Belom sih."

"Itu tuh musuh! Bad, ganti senjata lo jadi AWM aja. Gue nggak dukung skill lo make shoutgun," ucap Dailami mengingatkan Badali agar segera bersiap.

"Hish! Nggak bebas banget gue make senjata."

Farid terkekeh sebentar. Memang benar, Badali tidak terlalu pandai menjadi penembak jarak dekat. Tapi dia bisa diandalkan untuk menyunting musuh jarak jauh. Jadi, dia harus rela dengan peran pentingnya menjaga mereka dari musuh yang jauh.

"Far udah makan?" tanya Dea lagi.

Terdengar suara Dailami berdehem dua kali. Selebihnya masih hening, Badali pun tidak menimpalinya.

"Eh, belum, De. Setelah ini gue makan kok."

"Jaga kesehatan ya," ingat Dea.

"Gue enggak nih, De?" rajuk Badali dengan nada sedih yang di buat-buat. "Masa Farid doang yang lo perhatiin. Gue juga mau kali!"

"Eh?" ucap Dea tidak mengerti.

"Fokus!" titah Dailami. Disana, ia mengepal tangan hingga buku-bukunya memperlihatkan urat-urat besar berwarna hijau miliknya. Karena kalau boleh jujur, kulit Dailami putih ke kuning-kuningan dan hal itu sering memperlihatkan urat-uratnya yang berwarna hijau pudar. Bilang saja, Dailami tidak suka Dea memprioritaskan Farid.

Garis Waktu (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang