05

610 50 5
                                    

...NIGHTMARE...

¤
¤
¤

Happy Reading

***

Plak!

Vania bagai kehilangan suara tak mampu melanjutkan ucapannya saat merasakan sebuah tangan dengan keras menyentuh pipinya.

Untuk pertama kalinya Zeyn menyentuh Vania dengan sebuah tamparan tepat di wajah. Pukulan yang sangat keras membuat kepalanya ikut menoleh paksa. Permukaan kulit wajahnya memanas. Vania tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi dan sukses membuatnya tercengang.

"Dengar yah! Jangan pernah mengulang ucapan menjijikkan itu lagi padaku." Ancam Zeyn dengan rahang yang mulai mengeras. "Dan berani sekali kau menyematkan hal-hal seperti itu atau mungkin kau sedang melac*r di luar sana, ya? itu sebabnya kau berpikir aku juga melakukan hal yang sama dengan yang kau lakukan? Cuihh."

Vania menangis dalam dian karena sakit yang ia rasakan atau mungkin kata-kata Zeyn yang begitu menusuk hingga membuatnya sesakit ini.
Vania berusaha menepis pikiran itu karena kalimat itu sudah sangat sering ia dengar dari mulut ayahnya, dan pukulan Zeyn ini tidak sebanding dengan pukulan yang ayahnya lakukan padanya.

'Tapi kenapa aku harus menangis?' ujar Vania dalam hati.

"Jangan melihatku dengan tatapan menyedihkanmu itu karena hanya membuatku muak. Aku mengatakan ini sekali dan tak akan mengulanginya lagi. Jika kau merusak nama baikku, aku juga tak segan menghancurkan hidupmu."

"Hentikan," lirih Vania sembari menyembunyikan wajahnya yang menyedihkan. Vania sudah tak tahan dan amarahnya kini sudah menyentuh ubun-ubun.

"Apa katamu?" dengan mengusap kasar air mata di pipinya. Vania perlahan mengangkat kepalanya dan melayangkan tatapan murka.

"Apa yang kurasakan saat ini sudah seperti di neraka, jadi hal buruk apa lagi yang akan terjadi, hah?"

Terlihat dari raut wajah Zayn yang tidak menyukai ucapan Vania. Vania dengan langkah pelan dan tangan yang masih sibuk menyingkirkan cairan yang tak henti-hentinya keluar dari matanya. Vania sudah bosan menjadi boneka dan dia tak ingin itu terulang lagi.

"Kau tidak punya hak untuk menyentuh apalagi memukulku." ucap Vania sinis.

Tangannya spontan terangkat dan juga meninggalkan bekas merah di wajah tampan Zeyn. Vania merasakan jiwanya hilang meninggalkan tubunnya, perasaan takut pun kembali menyerang setelahnya.

Zeyn mengusap pipinya yang memerah, tatapan membunuh muncul dari sorot matanya.

"Jadi, ini yang kau inginkan, jalang? Kau sengaja menimbulkan konflik?" teriak Zeyn tepat di depan wajah ketakutan Vania.

Zeyn mendorong paksa tubuh Vania hingga membentur dinding. Rasa sakit yang dirasakan Vania serta lutut yang semakin lama tak bisa menopang tubuhnya.

"Jadi sekarang kau berani melawanku?" tanya Zeyn dan mulai mencekik leher Vania. Mulut Vania terkatup tak bisa berkata-kata lagi. "Sepertinya kau sangat ingin dipukul?"

Vania seakan lupa cara bernapas dengan benar dan kepalanya terasa akan meledak. "Apakah dia akan membunuhku?" batin Vania.

"Itukah yang kau pikirkan?" ujar Zeyn melepas cengkramannya di leher Vania. Tubuh Vania merosot ke lantai sambil memegang lehernya. Air matanya keluar tanpa henti dan napasnya memburu.

"Yang perlu kau lakukan hanyalah bertindak layaknya istri yang sempurna tapi kau tak bisa melakukan hal itu. Kau wanita tak berguna dan menyedihkan. Kau datang untuk menghancurkanku dan membawa kesengsaraan di dalam hidupku."

Setelah menyelesaikan kalimatnya Zeyn pergi meninggalkan Vania. Vania tak habis pikir mengapa dan kenapa semua ini harus terjadi. Vania hanya mampu meringkuk dan memeluk erat ke dua lututnya, menangis sejadi-jadinya saat ucapan Zeyn kembali terngiang di kepalanya.

Vania tengah di hadapkan pada sebuah ujian hidup yang teramat besar. Perasaan tak berdaya, bukanlah hal yang ia harapkan saat ini.

Vania tidak pernah berpikir setelah terbebas dari tekanan kedua orang tuanya, hidupnya malah semakin kacau. Vania menyadari setelah hidup bersama Zeyn ternyata ia juga butuh peran perasaan dalam menyokong hidupnya. Sesuatu yang tak pernah ia alami dan tak pernah ia ketahui.

Kata perjodohan membuat Vania sangat sadar akan hal itu. Sedari awal Zeyn bahkan meyakinkan Vania jika ia tidak akan pernah menaruh perasaan untuk Vania. Tapi siapa yang tak mau jika mendengar kata pernikahan atau suami. Setelah mendengar ucapan yang dilontarkan Zeyn barusan, Vania tidak  berharap lagi itu akan terjadi di masa depan.

Tapi Vania hanya ingin hidup normal tanpa adanya kebohongan, tak ada kata pura-pura, tanpa harus menjadi boneka, tanpa kekerasan, bersama seseorang yang bisa dekat dengannya, menerima kelebihan dan kekurangannya, peduli dengan keadaan Vania, dan berharap akan hidup bahagia. Apakah itu terlalu sulit bagi Vania?

Semua harapan itu seakan melebur, ikut meninggalkan Vania yang terbaring di lantai, menangis, sama seperti malam-malam sebelumnya.

Semua tindakan yang dilakukan Zeyn menjadi hantaman besar bagi hidup Vania. Vania bahkan melalui segalanya selama bertahun-tahun. Tindakan Zeyn sama dengan tindakan yang ayah Vania lakukan. Menyalahkan, teriakan, dan sekarang memukul. Tetapi perlakuan Zeyn terhadap Vania hampir tak ada apa-apanya dibandingkan yang ayahnya lakukan. Tapi kenapa Vania harus menangis dan merasa terluka? Apakah harapannya untuk menjalani kehidupan normal sudah hancur?

Vania juga salah, ia sudah tahu Zeyn mabuk dan akan marah jika Vania berani melawannya. Dari semua kata-kata Zeyn, Vania seharusnya tetap diam tapi nasi sudah menjadi bubur dan posisi Vania juga sedang terbelut emosi karena ucapan Zeyn.

Ayah Vania memang tidak melakukan banyak hal terhadap anaknya, tapi beliau sudah memberi tempat tinggal yang layak, pendidikan dan memberinya cukup uang. Kecuali kurangnya cinta, kasih sayang dan kejujuran.

Sedari kecil hingga tumbuh dewasa, Vania memiliki segalanya bahkan tak ada yang kurang di hidupnya. Meskipun ia harus menerima caci dan makian, Vania tak akan menangis jika mendengar kata-kata kasar atau umpatan dari mulut ayahnya. Ia bahkan sempat berpikir jika ia diciptakan sebagai manusia yang tak di bekali kelenjar air mata. Tapi bersama Zeyn, Vania harus menampik pikiran itu dan tahu jika ia juga memilikinya.

Dan mungkin Vania marah karena baru saja mengalami hari yang dipenuhi kebahagiaan dan Zeyn merusak segalanya.

Vania tidak menahannya, emosinya keluar begitu saja. Hanya butuh sedetik saat tangan Vania dengan berani menampar wajah Zeyn. Vania sangat menyesal melakukannya. Ada sesuatu di mata Zeyn yang membuatnya merasa takut hingga membuatnya ingin mati saat itu juga.

Setelah insiden tampar menampar itu terjadi, Vania baru menyadari jika ia sangat takut dengan Zeyn, suaminya.

"Aku pikir dia akan menjadi penyelamatku, tapi nyatanya ia lebih menyakitiku."

Setelah puas menangis, Vania melakukan hal wajib yang biasa ia lakukan dalam situasi seperti ini. Vania akan mengambil kotak P3K dan membawanya ke kamar mandi dan dengan bantuan pantulan cermin ia bisa memberi obat ke area wajah dan lehernya agar tidak meninggalkan bekas...

Tbc.........

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TRYNA PRETEND (it's okay to be not okay) END ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang