Part 01

34K 2.7K 214
                                    


"Lidya ikut Mama ya?" Pinta Lidya kepada Rita yang berdiri di hadapannya.

"Maaf sayang, Mama gak bisa bawa kamu. Disini aja ya?"

Mendengar jawaban yang sama sekali Lidya tidak inginkan membuatnya menunduk dalam. Kenapa tidak bisa?

"Mama tega tinggalin Lidya sendiri?" Tanya Lidya dengan lirih.

Rita tersenyum. Tangannya mengelus bahu Lidya dengan lembut. Sejujurnya ia juga tidak ingin meninggalkan Lidya, tapi ia juga tidak bisa terus berada disini.

"Kamu gak sendiri sayang,"

"Gak sendiri Ma? Mama, Papa, Kak Rio, dan Farel akan pergi. Lidya sama siapa kalau gak sendiri? Tega ya."

Perlahan air mata Lidya jatuh. Dirinya sudah tidak sanggup untuk menahan air mata. Sekuat apapun Lidya, tapi pertahanannya akan runtuh juga.

Surya yang melihat Rita diam berjalan mendekat. Surya berdiri di hadapan Lidya menggantikan posisi mantan istrinya.

"Lidya, ngerti ya sayang? Papa tau mungkin untuk saat ini kamu belum faham sama situasinya, tapi nanti kamu bakal faham sayang,"

"Apa yang gak Lidya faham? Selama ini Lidya lihat secara langsung pertengkaran kalian. Parahnya kalian bertengkar karena capek mengurus Lidya. Jadi apa yang gak Lidya faham Pa?" Lidya menatap Surya dengan tangisannya.

"Ngga gitu sayang. Papa sama Mama bukan capek ngurus kamu tapi,"

"Tapi apa Pa? Kalau kalian capek dengan kehadiran Lidya, lalu untuk apa Lidya di lahirkan?"

"Lid jangan ngomong gitu, Mama gak sanggup dengernya." Rita mulai menangis.

"Lidya lebih gak sanggup Ma. Disaat semua orang tua berlomba-lomba untuk membahagiakan anaknya, tapi kalian malah berlomba-lomba untuk menghancurkan Lidya."

"Lidya,"

"Salah Lidya apa sih? Gak bisa kalian kasih hukuman yang lebih ringan dari pada tinggalin Lidya sendirian?"

"Sayang dengerin Papa, dengerin ya." Surya menatap Lidya dalam-dalam. "Kamu gak sendirian, kamu masih ada kita. Kita pergi hanya untuk mengurus kehidupan yang baik dulu, tapi setelah itu--"

"Setelah itu kalian lupakan Lidya." Potong Lidya dengan cepat sambil tertawa pelan. "Boleh Lidya merasa capek. Boleh Lidya merasa bukan seperti anak kalian?"

"Kamu tetap anak kita Lidya. Gak akan ada kata kalau kamu bukan anak kita. Apapun yang terjadi kamu akan tetap anak kita." Tegas Surya.

"Terus kenapa cuma Kak Rio dan Farel yang kalian bawa?" Tanya Lidya parau.

Surya diam. Ia sangat sulit menjelaskan semuanya kepada Lidya. Tapi ini sudah terjadi san Surya akan tetap dengan keputusannya.

"Ma, Pa liat Lidya. Liat sekali aja penderitaan yang selama ini Lidya rasakan. Lidya sendiri Ma, Pa. Keluarga kalian juga benci sama Lidya, jadi Lidya harus apa? Kalian pergi dan semuanya menjauh. Lidya benar-benar sendiri." Lirih Lidya.

Lidya menundukkan kepalanya tidak sanggup melihat Rita dan Surya yang hanya diam saja. Bahu Lidya bergetar karena isak tangisnya yang begitu kuat.

Hari ini, hari dimana Lidya akan kehilangan keluarganya. Hari dimana Lidya juga akan sendiri, tinggal tanpa adanya orang tua. Sulit. Lidya begitu sulit menerima semua kepahitan dalam hidupnya.

"Maaf Bu, Pak. Pesawat akan terbang beberapa menit lagi." Pak Darma, supir pribadi keluarga Surya datang.

Surya menoleh dan mengangguk kepada Darma. Surya kembali menatap putrinya yang menunduk sambil menangis.

"Lidya,"

"Pergi Ma, Pa. Pergi yang jauh." Kata Lidya.

Lidya mengangkat kepalanya dan menatap Rio juga Farel yang sedari tadi hanya diam tanpa bersuara.

"Kakak beruntung." Kata Lidya membuat Rio menatapnya. "Disaat Mama dan Papa mencoba mengasingkan Lidya, tapi Kakak malah di rebutkan. Beruntung sekali Kak." Lidya tersenyum dengan terpaksa.

Rio membeku. Seharusnya sekarang Rio melindungi adiknya, tapi yang di lakukannya malah ikut menyakiti Lidya.

"Jaga Papa ya Kak? Papa memilih Kakak untuk ikut, jadi Lidya harap Kakak tidak mengecewakan Papa. Dan jangan lupa untuk selalu jenguk Lidya. Jangan pernah lupakan Lidya Kak." Kata Lidya lagi.

"Dan kamu Rel." Farel balas menatap Kakaknya. "Kamu gak kalah beruntung sama Kak Rio. Mama mau mengurus kamu, itu berarti kamu harus banggain Mama disana. Jadi anak yang baik, setidaknya sebagai tebusan kekesalan Kakak karena kamu lebih memilih Mama dan Papa." Lidya tertawa renyah.

"Kakak!"

Farel berteriak sambil berlari menghampiri Lidya dan langsung memeluk tubuh Lidya dengan erat. Tapi Lidya sama sekali tidak membalas pelukan Farel.

Lidya menatap Rita dan Surya dengan sorot mata kecewa. Air mata Lidya pun masih terus turun membasahi pipinya.

"Lidya," Rita hendak mendekat tapi malah di cegah.

"Pergi. Lidya ikhlas." Kata Lidya. "Kalau Mama terus deketin Lidya itu malah membuat Lidya sakit. Setidaknya kepergian kalian bisa membuat Lidya tambah kuat."

Rita menggigit bibir dalamnya tak kuasa menahan tangis. Detik berikutnya Rita memilih untuk keluar tanpa berpamitan pada Lidya.

"Maafin Papa Lidya. Papa janji akan menjenguk kamu sebulan sekali."

Sekarang Surya juga keluar menyisakan Rio, Lidya dan Farel. Ketiganya saling diam sampai akhirnya Lidya mendorong pelan bahu Farel agar menjauh darinya.

"Kak,"

"Pergi Rel." Kata Lidya tanpa menatap wajah adiknya.

"Maafin gue Lid. Gue belum bisa jadi Kakak yang baik buat lo, tapi gue janji. Gue akan pulang setiap lo membutuhkan gue." Kata Rio segera beranjak sambil menarik paksa tangan Farel.

Bruk!

Lidya tidak kuat lagi untuk berdiri. Kedua lututnya menahan tubuh Lidya yang sudah lemah. Mata Lidya menatap satu persatu keluarganya menaiki mobil yang akan membawa mereka ke bandara.

Tangis Lidya seketika pecah. Suara tangisan terdengar sangat nyaring di rumah besar yang tanpa penghuni, kecuali Lidya.

Bugh! Bugh! Bugh!

Lidya memukul-mukul lantai dengan brutal, berharap jika sesak pada dadanya dapat menghilang. Tapi nyatanya tidak. Dada Lidya semakin sesak---sangat sesak.

Tubuh Lidya tumbang. Sekarang Lidya tidur di lantai yang sangat dingin. Tangannya memegang dada yang berdetak tidak karuan.

"Hiks...hiks...hiks..."

Lidya menangis sesenggukan. Hari ini Lidya benar-benar sendiri. Setelah keluarganya pergi meninggalkan dirinya tanpa ada yang menemani.

Lidya tidak menyangka jika semua ini terjadi begitu cepat. Ujian yang di berikan Tuhan sungguh berat, Lidya tidak sanggup.

Merasakan sendiri menjadi korban dari perceraian Rita dan Surya. Melihat sendiri kepergian keluarganya. Dan menerima takdir yang begitu jahat kepadanya.

Lidya capek! Lidya muak!

Kenapa ini semua harus terjadi kepada Lidya? Kenapa? Sumpah, rasanya sakit sekali. Lidya tidak kuat.

"Apa gak cukup perceraian kalian menghancurkan masa depan Lidya?"

•••BERSAMBUNG••

Cerita Lidya [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang