Part 17

13.4K 1K 15
                                    

Lidya menyandarkan punggungnya di sofa. Menatap kosong atap rumahnya. Ia berulang kali menghubungi Reyhan tapi tak mendapat respon apapun. Membuatnya kebingungan setengah mati untuk mencari keberadaan cowok itu.

Jujur, menghadapi amarah Reyhan adalah hal yang paling Lidya hindari. Ia paling benci ketika bertengkar dengan laki-laki itu.

Lidya takut jika mereka akan berakhir masing-masing, karena bagi Lidya tidak ada yang paling berharga lagi selain Reyhan.

Lidya telah kehilangan anggota keluarganya. Jangan sampai ia harus kehilangan Reyhan juga.

Dalam hatinya Lidya tak berhenti bersumpah untuk memarahi habis-habisan orang yang berani membuat hubungannya jadi kacau seperti sekarang.

"Huft...." Lidya menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya.

Dalam waktu singkat banyak sekali masalah yang datang bertubi-tubi. Tak membiarkan Lidya bernapas dengan lega barang sejenak pun.

Lidya meraih tas selempangnya. Ia mengambil benda yang selama ini selalu menjadi alat pelampiasan rasa sedih Lidya.

Lidya menatap silet yang ada di tangannya. Entah mengapa barcode menjadi candu tersendiri untuk Lidya.

Lidya selalu merasa tenang jika benda tajam itu mengukir indah lengannya dengan sayatan-sayatan.

Anggap saja Lidya gila. Tapi inilah ia sekarang. Dengan pikiran dengkelnya yang berani menyakiti diri sendiri.

"Shh."

Lidya memejamkan kedua matanya menahan rasa nyeri pada sayatan-sayatan di lengannya. Tapi ia tak berhenti melakukan itu, malah semakin lebih menambahnya.

Tidak tau harus melampiaskan seperti apa, selain melakukan barcode. Lidya ingin tenang sekali saja, mengapa rasanya sulit? Bahkan untuk sekadar bernafas pun rasanya tak sanggup.

Dari kecil hidupnya terlalu sering di dekap luka. Ia tumbuh dewasa dengan berbagai masalah yang menghantam. Membuatnya tidak dapat mengendalikan diri ketika tengah merasa sedih.

Disela kegiatan bodohnya itu, tiba-tiba kepala Lidya terasa pening. Matanya mendadak buram. Seolah-olah dunia berputar dan membuat Lidya kehilangan kesadaran secara utuh.

"S-sakit." Lidya meringis kesakitan kala rasa pening semakin menghantam kepalanya. "P-pak Darma b-bantu Lidya..."

Suara Lidya tercekat. Hingga tak sadar ada darah segar mengalir di hidungnya. Lidya semakin parah di sofa. Tak berhenti meraung kesakitan.

"Astaga! Non Lidya!"

Pak Darma yang samar-samar mendengar suara rintihan Lidya, bergegas datang dan menghampiri. Terkejut bukan main melihat kondisi gadis itu yang cukup parah.

"Non, kenapa Non?!" Pak Darma menarik Lidya ke dalam pelukannya.

"S-sakit Pak...." Lirih Lidya diiringi dengan air mata yang perlahan mengalir.

Pak Darma panik. Apalagi melihat banyak darah yang keluar dari tangan dam hidung Lidya. Ia segara meraih ponsel di saku, berniat menghubungi Ambulance.

"S-sakit pak," Lidya kembali merintih.

"Bertahan Non,"


Cerita Lidya [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang