Lidya melempar tas ranselnya di atas meja, kemudian merebahkan diri di sofa. Ia memejamkan kedua matanya.Sudah seminggu ia ditinggalkan kedua orang tuanya. Rasanya masih tidak menyangkan hidup Lidya akan berakhir menyedihkan seperti sekarang.
Tak ada pilihan lain selain memilih tetap hidup dalam dekapan luka. Lidya bisa saja mati di tangannya sendiri, tapi ia masih memiliki banyak mimpi yang belum ia gapai.
Masalah demi masalah selalu datang menghampiri hidupnya. Terkadang Lidya berpikir kesalahan seperti apa yang ia perbuat hingga membuat hidupnya sangat menyedihkan seperti sekarang.
Lidya membuka matanya. Menatap sekitar yang benar-benar sepi. Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya.
Ia beranjak dari ruang tamu menuju dapur untuk minum. Lidya duduk dengan tatapan kosong. Sampai pandangannya terjatuh pada silet yang tergeletak di atas meja.
Jangan gila, lid....
Lidya menggelengkan kepalanya. Menghapus pikiran buruk yang terlintas dibenaknya. Jangan sampai pikiran gila Lidya mengambil alih kewarasannya.
Tapi Lidya butuh pelampiasan. Ia butuh sesuatu yang dapat menghilangkan rasa sakitnya. Lidya terlalu lelah merasakan semua rasa sakit ini.
Tangannya terulur mengambil silet tersebut. Menatapnya cukup lama, karena masih ada keraguan. Tapi Lidya butuh pengalihan dari luka batinnya.
Srett
Lidya memejamkan kedua matanya menahan ringisan kala silet itu menyayat lengannya. Sampai darah segar mulai mengalir di lengan Lidya.
Nyeri. Tapi entah kenapa Lidya merasa lega. Membuatnya kembali menciptakan sayatan yang lebih banyak.
Lidya tersenyum melihat hasil sayatannya. Mengabaikan rasa perih yang semakin merambat di kulitnya.
Lidya menyandarkan punggungnya pada kursi, setelah puas menyakiti dirinya sendiri. Membiarkan darah terus mengalir, karena luka sayatan itu.
Tes
Air mata mengalir dari sudut mata Lidya. Lagi-lagi gadis itu menangis tanpa suara. Menangis sendiri tanpa ada yang mau menenangkan tangisnya.
"P-papah," lirih Lidya merasa dadanya kembali sesak. Tapi tidak terlalu sakit, karena dialihkan oleh rasa perih di lengan Lidya.
Bahu Lidya mulai bergetar. Ia menangis dengan mata yang terpejam. Siapapun yang akan melihat kondisinya sekarang akan menatap kasihan pada perempuan itu.
Salah ku apa Tuhan....
Rongga dada Lidya menyempit. Membuatnya kesulitan bernafas. Berhari-hari ia menangisi kehidupannya yang begitu miris.
Lidya takut dengan hidupnya di masa depan. Takut jika Lidya akan berhenti di tengah jalan sebelum benar-benar mencapai keberhasilan dan kebahagiaan.
Lidya merogoh saku seragam. Mengeluarkan ponselnya. Ia membuka mata dan menatap layar ponsel yang memperlihatkan wallpaper keluarganya.
Sudut bibir Lidya terangkat membentuk sebuah senyuman. Lega rasanya melihat wajah bahagia keluarganya di layar ponsel. Meski tak dapat melihatnya langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Lidya [Revisi]
Teen FictionRevisi WARNING⚠⚠⚠ CERITA DAPAT MEMBUAT ANDA EMOSI⚠SEPERTI BERKATA KASAR DAN MENGUMPAT⚠JADI TOLONG SIAPKAN DIRI SEBELUM MEMBACA⚠⚠⚠ _________________________________________ Anak broken home? Tidak masalah. Selalu jadi yang kedua? Tidak masalah. Di kh...