Part 18

13.6K 1.1K 23
                                    


Tidak butuh waktu lama untuk sampai di Surabaya. Sekitar 1 jam lebih dalam perjalanan jika menggunakan pesawat.

Jantung Lidya kali ini berdegup dengan cepat. Berdiri di depan rumah saja sudah membuat Lidya mati-matian menahan rasa aneh yang muncul dalam dirinya. 

Sudah hampir 10 tahun kurang lebih Lidya tidak mengunjungi rumah itu. Rumah yang telah membuat Lidya memiliki trauma. Rumah yang menyimpan kenangan memilukan. Sebenarnya Lidya tidak sanggup jika harus masuk ke dalam rumah tersebut.

Trauma yang selama ini Lidya sembunyikan bisa jadi akan muncul jika Lidya memaksa masuk ke dalam rumah tersebut.

Tapi tidak mungkin jika Lidya hanya diam saja di jalanan. Sepertinya Lidya harus berusaha agar traumanya tidak kambuh.

"Hey ayo masuk!" Seru Rio menyadarkan lamunan Lidya.

Lidya mengangguk. Dengan ragu Lidya melangkahkan kakinya mengikuti Rio dari belakang.

Deg!

Saat Lidya baru sampai di pintu semua pasang mata keluarganya langsung tertuju kepadanya. Buru-buru Lidya menundukkan kepalanya dalam.

Jujur saja Lidya sangat takut jika seluruh anggota keluarganya menatap dirinya dengan sorot kebencian. Seakan-akan mereka ingin menghabisi Lidya saat itu juga.
Sadar jika Lidya mulai ketakutan, Rio langsung menggenggam tangan Lidya dan membawa Lidya masuk.

"Tante, Om." Sapa Rio kepada adiknya Surya.

"Hey Rio apa kabar?" Tanya Fitri.

"Baik Tante. Tante sama Om apa kabar?"

"Baik juga." Jawab Firman.

"Tante, Om."

Lidya mengulurkan tangannya untuk menyalimi tangan Fitri dan Firman. Tapi kedua orang itu malah mengabaikan Lidya.

"Tante sama Om ke dapur dulu ya."

Fitri dan Firman berlalu begitu saja tanpa membalas uluran tangan Lidya. Lidya faham, Lidya kembali menarik tangannya sambil berusaha tersenyum.

"Jangan tersinggung, mungkin mereka belum bisa maafin lo." Kata Rio kepada Lidya.

"Lidya ngerti." Jawab Lidya.

"Yaudah gue temuin Papa dulu."

"Jangan Kak." Cegah Lidya. "Lidya takut." Cicit Lidya pelan.

"Gak usah takut, lagian gue gak akan lama."

"Tapi Kak--"

"Udah, tunggu sebentar."

Rio langsung pergi meninggalkan Lidya. Tidak taukah Kakaknya itu jika sekarang anggota keluarga yang ada disini sedang menatapnya dengan horor? Kenapa Rio malah pergi?

Lidya masih menundukkan kepalanya. Enggan jika harus membalas tatapan keluarga yang begitu mengerikan.

Tiba-tiba Lidya merasakan seseorang duduk di sampingnya. Lidya melihat dari ekor matanya dan ternyata itu adalah sepupu perempuannya.

"Masih punya muka buat kesini, gue pikir lo gak bakal dateng." Celetuk Nabila.

Lidya diam. Ia malas jika harus beradu mulut dengan sepupunya. Dan pastinya juga nanti malah tambah banyak yang mengajaknya untuk beradu mulut.

"Hadir atau ngga nya lo disini, tetep gak akan ada yang nerima. Gue juga yakin pasti Kakek yang udah meninggal aja gak mau ada lo disini." Nabila kembali berbicara.

Lidya masih diam.

"Lo tuh dateng cuma bawa sial dan masalah. Harusnya sih lo gak dateng." Nabila menjeda. "Jangan-jangan lo mau warisan dari Kakek ya? Jangan mimpi! Gak akan ada sepersen pun warisan Kakek buat lo!"

Lidya mengepalkan kedua tangannya. Perkataan Nabila adalah sebuah fitnah. Tujuan Lidya datang kemari bukan untuk mengambil warisan.

"Gak ta—"

"Niat gue kesini cuma buat do'a in Kakek, gak lebih. Gue harap lo bisa tutup mulut lo itu! Gak ada gunanya lo fitnah gue." Balas Lidya sudah tidak tahan.

Nabila tersenyum meremehkan. "Kakek gak butuh do'a dari orang yang dia benci. Orang yang udah bunuh cucu kesayangannya!"

"Gue gak bunuh siapa-siapa!" Sentak Lidya mulai naik pitam.

Suara Lidya yang tinggi tersebut menarik perhatian anggota keluarga lainnya. Mereka menatap Lidya masih dengan sorot kebencian.

"Gue tegaskan sekali lagi sama lo. Kalau gue bukan pembunuh!" Gertak Lidya tajam.

"Dateng-dateng malah buat kerusuhan, gak tau malu dasar." Cibir Nanda, Tantenya yang lain.

"Lebih baik kamu gak usah dateng, memang anak pembawa masalah."

"Bukannya membuat kenyamanan malah membuat kerusuhan."

"Tidak punya tata krama dasar."

Dada Lidya naik turun. Sebisa mungkin Lidya tidak memasukkan ke hati semua hinaan yang keluar dari mulut anggota keluarganya itu.

Mata Lidya sudah berkaca-kaca. Tangannya pun semakin terkepal kuat. Sedangkan Nabila sudah tersenyum puas menyaksikan Lidya yang mendapat hinaan.

"Sini kamu Lidya!"

Tiba-tiba Surya datang dan langsung menarik tangan Lidya dengan kasar sampai membuat Lidya meringis kesakitan. Surya membawa Lidya ke belakang rumah dan langsung menghempaskan gadis itu. Untung saja Lidya tidak terjatuh.

Dapat Lidya lihat jika Papanya itu sedang menahan amarah. Bahkan Surya sekali pun akan menyalahkan Lidya.

"Jika tau kamu malah membuat masalah, lebih baik Papa tidak mengajak kamu kemari." Kata Surya dengan nada dingin.

"Ini bukan salah Lidya Pah." Bantah Lidya cepat.

Air mata sudah jatuh membasahi pipi Lidya. Ia benar-benar tidak sanggup jika sudah berada di posisi seperti ini.

"Cukup. Kamu tau kan jika keluarga Papa sangat membenci kamu? Seharusnya kamu menunjukkan sikap baik di depan mereka! Bukan malah membuat mereka semakin membenci kamu!" Bentak Surya.

"Tapi Lidya gak salah!"

"Cukup Lidya! Papa menyesal menyuruh Rio untuk bawa kamu."
Surya menggeram marah. Ia tidak menyangka jika anaknya malah membuat masalah.

"Mungkin benar kata keluarga Papa. Kamu hanya membawa masalah dan kesialan."

Deg!

Nafas Lidya tercekat. Tangannya kembali terkepal. Perkataan Surya barusan berhasil menusuk hatinya. Sampai Lidya merasakan sesak pada dadanya.

Saat ini Lidya menyesal...
Menyesal tidak menolak ajakan Rio untuk membawanya kemari. Karena kedatangan Lidya ke rumah ini hanya akan melukai hatinya sendiri.

Bersambung...

Cerita Lidya [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang