Happy Reading 💞💞💞
Tidak…Tidak mungkin!
Kalimat itu secara berulang-ulang Andrew ucapkan dalam hatinya yang sesak. Ponselnya yang terjatuh tidak lagi mampu menarik perhatiannya disaat kepalanya sudah dipenuhi oleh satu nama yang berhasil memporak porandakan kesadarannya.
Tubuhnya yang reflek berdiri nyaris limbung jika tidak segera berpegangan pada sisi meja. Panggilan tadi berhasil menyerap seluruh kekuatannya dan membuat kakinya kesulitan berpijak menahan beban tubuhnya.
Perlu waktu beberapa menit sampai akhirnya ia berhasil mengumpulkan kekuatannya dan bergegas memanggil Arthur untuk mengantarkannya ke rumah sakit disaat konsentrasi tak bisa lagi berpusat padanya. Sama seperti dirinya, Arthur juga terlihat kalut, namun pria itu masih bisa menguasai dirinya.
Waktu setengah jam rasanya seperti setengah abad bagi Andrew yang ingin segera sampai ke rumah sakit dan melihat langsung kondisi Abigail. Sampai akhirnya ia sampai di depan kamar rawat Abigail yang sudah dipenuhi isak tangis.
Andrew memegangi kenop pintu dengan tangan bergetar. Keinginannya untuk masuk sangat kuat, tapi ketakutan besar yang menguasai hatinya berhasil menahan langkahnya. Saat tepukan lembut dari Arthur terasa di pundaknya, barulah ia berani membuka pintu itu.
Kamar itu ramai oleh jeritan kesedihan dan tangis memilukan, tapi Andrew tidak bisa lagi melihat orang-orang yang menjadi sumber suara itu disaat matanya hanya terfokus pada sosok yang terbaring di atas ranjang.
Andrew melangkah mendekati ranjang dengan mengumpulkan keberanian. Rasanya seperti mendekati sesuatu yang membuatnya akan binasa saat itu juga. Setibanya di dekat Abigail, ia duduk, memandang wajah Abigail yang pucat pasi.
“Abey!” sapanya lembut dengan jantung berdegup keras.
Andrew tidak melihat Abigail merespon. Ia juga sama sekali tidak melihat wanita itu bernapas. Jika Abigail tidur nyenyak, pastilah dadanya bergerak naik turun sebagai tanda pernapasannya.Tapi ini?
Abigail diam. Benar-benar diam hingga membuat degupan jantung Andrew semakin meledak-ledak oleh rasa takut yang besar.
“Abey, kenapa kau diam seperti ini? Ayo, katakan sesuatu!” Suara Andrew mulai bergetar terlebih ketika rasa dingin mulai memenuhi telapak tangannya yang menggenggam tangan Abigail.
Benaknya mulai bisa menyimpulkan keadaan di depannya, tapi hatinya menentangnya keras.
“Hei, buka matamu, Abey! Apa begitu besar rasa bencimu padaku hingga kau tidak ingin melihatku?” Andrew tertawa. Tawa miris yang menyalurkan rasa frutrasinya. “Kumohon, bangunlah! Tidak apa-apa jika kau mengatakan membenciku. Tidak apa-apa jika kau memintaku untuk menjauh. Aku akan melakukannya. Aku akan melakukan apapun jika kau membuka matamu.”
Masih tak ada jawaban. Semua orang dalam ruangan itu masih larut dalam kesedihannya, sementara Andrew masih bergelut dengan pertentangan hati dan logikanya.
Andrew mengelus kepala Abigail, mengingat semua kekeraskepalaan wanita itu dalam mencintainya. Mengingat semua cinta dan kebaikan yang Abigail berikan untuknya. Mengingat jika ia pria paling bodoh karena baru menyadari bahwa kehadiran Abigail begitu penting untuknya dan kepergian wanita itu memberikan rasa kehilangan dan duka besar yang sangat menyakitinya.
“Aku tahu kesalahanku padamu sangat besar, tapi tolong jangan menghukumku dengan cara seperti ini! Aku tidak ingin kau meninggalkanku. Aku mohon, kembalilah!”
Air mata Andrew luruh, jatuh tepat mengenai pipi Abigail yang pucat pasi. Isakan memilukan pun tak dapat tertahankan lagi. Andrew hancur, hatinya remuk redam. Beberapa kali ia memejamkan mata lalu membukanya, berharap mendapati senyum ceria dan suara riang Abigail menyambutnya seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Miss.A!
RomanceHidup itu pilihan. Tapi kenapa memilih terasa sulit? Setidaknya itulah yang dirasakan oleh seorang Andrew Reeve. Pilihan sulit itu hadir saat dua wanita masuk ke dalam kehidupannya dan berhasil mengacaukan perasaannya. Siapakah yang akan Andrew pili...