Part 17

1K 131 39
                                    

Happy Reading 💞💞💞

Setelah meninggalkan pesta, Arthur memilih membawa Abigail ke apartemennya disaat wanita itu menolak saran Arthur untuk mengobati lukanya ke rumah sakit. Abigail juga tidak ingin Arthur membawanya kembali ke mansion Andrew.

Tidak ada jawaban yang terdengar setiap kali Arthur menanyakan kemana tujuan Abigail pulang. Wanita itu berubah membisu setelah Arthur memeluk dan menenangkannya saat di hotel tadi. Hanya gelengan ataupun anggukkan Abigail yang Arthur terima sebagai balasan atas semua ucapannya.

Sama halnya seperti saat ini. Abigail yang duduk di sofa ruang tamu Arthur, masih membisu dengan pandangan kosongnya. Arthur yang tadinya baru saja selesai dari dapur dan akan kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas coklat hangat untuk Abigail terpaksa menghentikan langkahnya menyaksikan pemandangan memilukan itu.

Tidak terlihat lagi sosok gadis ceria dan jahil yang selalu mengganggui Arthur dengan segala celotehan panjang serta sikap absurdnya yang menggemaskan. Senyum manis serta tawa yang selalu Abigail tampilkan seakan bersembunyi dibalik sosok rapuhnya yang sekarang terlihat.

Tidak ada air mata dan ekspresi apapun di wajah Abigail. Abigail sudah terlalu banyak menangis saat di hotel tadi dan ia merasa air matanya hanya terbuang sia-sia karena tidak bisa mengubah apapun dari keadaannya saat ini.

Abigail berharap semua yang dialaminya sekarang hanyalah sebuah mimpi buruk. Tapi, hembusan angin yang masih bisa dirasakannya sekarang menunjukkan bahwa ia masih berada dalam dunia nyatanya yang menyedihkan.

Abigail benar-benar lelah sekarang. Rasa panas akibat tamparan keras ayahnya serta luka di dagu dan lututnya saat terjatuh tadi sangat menyakiti tubuhnya. Ditambah dengan bentakan murka Morgan serta semua kalimat penuh kebencian Andrew padanya sangat menyakiti jiwanya.

"Coklat hangat untuk anda, Nona."

Setelah beberapa saat, Arthur memberanikan diri untuk menghampiri Abigail. Wanita itu mendongak untuk menatap Arthur yang berdiri di hadapannya. Dari jarak sedekat inilah Arthur bisa melihat kedua netra Abigail meredup tanpa menyisakan sinar. Hanya ada sorot keputusasaan yang tergambar jelas disana.

Arthur mengambil posisi duduk tepat di hadapan Abigail, matanya mengawasi pergerakan Abigail yang meminum coklat hangat di tangannya dalam diam.

Dagu dan lutut Abigail masih terbalut perban kecil setelah Arthur mengobatinya tadi. Arthur hanya berharap pengobatan kecil yang dilakukannya mampu mengurangi rasa nyeri yang Abigail rasakan.

"Kita memang tidak bisa selalu terhindar dari kenyataan hidup yang menyakitkan,"

Lirih, nyaris seperti sebuah bisikan. Namun keheningan yang mengisi ruangan itu mampu membuat telinga Abigail cukup jelas mendengarnya.

Abigail mengangkat pandangannya dari gelas kosong di tangannya. Senyum tipis Abigail terima begitu menatap Arthur di depannya. Senyum itu tampak samar dan begitu singkat, namun ketulusan bisa terlihat jelas di dalamnya.

Arthur tidak tahu cara menghibur seseorang yang sedang bersedih, terlebih itu adalah seorang wanita. Karena itu cara terbaik yang ada di kepala Arthur saat ini adalah keinginan untuk membagikan kesakitannya. Kesakitan yang diakibatkan oleh luka masa lalu yang selama ini tidak pernah diceritakannya pada siapapun juga. Setidaknya dengan begitu Abigail tidak akan merasakan kesedihan seorang diri.

Arthur menarik napas dalam-dalam. Pandangannya menerawang ke arah dinding putih yang berada tepat di belakang Abigail. Kata-katanya meluncur pelan dan dalam.

"Saya dilahirkan dari rahim seorang pelacur tanpa pernah tahu siapa sosok pria yang sudah menumpahkan benih ke dalam rahim itu,"

Ucapan Arthur terjeda sesaat. Arthur mengalihkan perhatiannya singkat pada Abigail yang masih diam. Namun pandangan wanita itu terarah lurus padanya sehingga ia memilih untuk meneruskan ucapannya.

"Sejak kecil saya sudah hidup dalam dunia gelap pelacuran dimana wanita yang sudah melahirkan saya berada. Tidak ada kasih sayang yang bisa saya dapatkan sebagaimana seharusnya seorang anak dapatkan dari orangtuanya. Sosok yang seharusnya saya panggil ibu justru menganggap kehadiran saya sebagai sebuah kesalahan. Setiap hari saya harus menerima pukulannya. Hampir setiap hari juga saya harus menahan kelaparan karena ketidakpeduliannya. Suara desahan yang saat itu belum saya mengerti nyaris setiap menit memenuhi pendengaran saya. Tak hanya dari ibu namun juga dari teman-temannya yang lain,"

"Tidak ada teman bermain yang saya miliki, yang ada hanya para jalang serta lelaki hidung belang yang tidak pernah segan mengumbar keintiman mereka di hadapan saya. Seiring dengan pertumbuhan usia saya, rasa benci itu mulai tertanam dalam diri saya. Bukan hanya pada ibu, namun juga pada seluruh kaum hawa yang menurut saya menjijikkan. Di usia saya yang baru beranjak sepuluh tahun, saya sudah menerima pelecehan seksual dari teman-teman ibu saya. Mereka mengatakan bahwa saya memiliki darah muda yang tampan hingga mereka tergoda untuk menggauli saya. Mereka bahkan tidak segan melakukannya di hadapan ibu saya yang sama sekali tidak mempedulikannya. Beruntung, saat usia saya menginjak lima belas tahun saya dipertemukan oleh orang baik yang mau untuk melepaskan saya dari tempat terkutuk itu. Orang baik itu adalah ayah dari Andrew Reeve yang tadinya ingin menutup tempat maksiat itu dan menggantinya dengan lahan usahanya. Mr.Mike lah yang sudah membantu saya hingga sampai pada tahap ini,"

Cerita itu mengalir begitu saja dari bibir Arthur disaat selama ini ia selalu menyimpannya begitu rapat dan tidak membiarkan siapapun mengetahuinya termasuk Andrew. Tapi sentah kenapa, kali ini Arthur tidak keberatan seseorang mengetahui masa lalunya yang menjijikkan.

"Arthur, aku..."

Abigail tampak kehilangan kata-kata karena keterkejutannya setelah mendengar semua cerita Arthur. Dan itu menarik senyum kecil Arthur. Setidaknya cerita Arthur tadi sudah berhasil menarik kesadaran Abigail yang sejak tadi larut dalam pemikirannya sendiri.

"Anda tidak perlu mengasihani saya, Nona! Saya hanya ingin menunjukkan pada anda bahwa setiap orang memiliki kesakitannya sendiri dalam cerita hidupnya. Tapi setiap orang juga selalu memiliki kesempatan untuk sembuh dari kesakitannya itu."

Arthur kembali menunjukkan senyumnya. Kali ini terlihat lebih jelas dan lama seakan ingin menyalurkan ketenangan pada Abigail lewat senyumannya.

"Jangan biarkan satu orang yang membenci anda akan menyakiti ribuan orang yang menyayangi anda! Anda orang yang spesial, Nona. Karena keceriaan dan ketulusan yang anda tunjukkan pada saya lah yang membuat semua persepsi buruk saya tentang wanita perlahan-lahan memudar."

Abigail mengerjab hingga meneteskan air mata haru yang keluar begitu saja dari netra hijaunya. Semua ucapan Arthur begitu kuat menyentuh lubuk hati terdalamnya. Benar. Tidak seharusnya Abigail seperti ini.

Masih ada Hanna, Christy dan sekarang Arthur yang membuat Abigail merasa kehadirannya diharapkan. Abigail juga sudah berjanji pada ibunya untuk selalu menjadi gadis yang kuat. Fisik Abigail boleh semakin lemah, namun jiwa Abigail harus tetap tangguh. Ya, harus seperti itu.

"Arthur,"

Suara merdu itu menginterupsi fokus Arthur yang sejak tadi tak melepaskan pandangannya dari Abigail. Memperhatikan setiap gerak-gerik yang dilakukan wanita itu. Dimulai saat Abigail meletakkan gelas dari tangannya ke meja lalu memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak kemudian mengubah ekspresi wajahnya saat bibirnya mengukir sebuah senyum serta matanya menyipit dengan binar ketulusan saat mengucapkan, "terimakasih."

*****

Berhubung ini pendek.
Lanjutannya besok lagi ya.

Jadi, dari komen2 kalian aku bisa menarik kesimpulan ada tiga kubuh yang terbentuk.

Andrew dan Abey

Andrew dan Ashley

Arthur dan Abey.

Semoga saja pasangan yang berjodoh nanti benar-benar bisa memberikan mereka kebahagiaan. Hihi...

Thankyou vote dan komentarnya, teman-teman 😘😘😘

Hello, Miss.A!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang