Part 22

1.7K 147 84
                                    

Happy Reading 💞💞💞

Andrew meremas kuat ponsel dalam genggamannya tepat setelah panggilan yang menyampaikannya informasi penting tentang Abigail terputus. Tubuhnya mematung dengan perasaan tak percaya yang kini menyelimutinya.

Abigail menderita ataksia? Bagaimana bisa?

Andrew bahkan harus menghubungi salah satu kenalannya yang berprofesi sebagai dokter untuk menjelaskan tentang penyakit yang baru pertama kali didengarnya itu.

Penyakit ini menyerang otak kecil dan tulang belakang serta menyebabkan gangguan pada saraf motorik. Penderita akan kehilangan kendali terhadap saraf-saraf motoriknya secara bertahap dan semakin lama kondisi fisiknya akan semakin parah.

Awalnya mungkin hanya akan merasa lunglai saat berjalan, lalu akan sering terjatuh, tidak bisa menggapai barang dalam jarak dekat. Ingin bergerak tetapi tidak bisa bergerak, ingin bicara tetapi tidak bisa bicara. Namun, penderita tidak kehilangan kecerdasannya dan tetap mengerti akan keadaannya. (Sumber: Wikipedia)

Ingatan Andrew tertarik ke belakang. Kilasan bayangan saat-saat Abigail dengan segala kecerobohannya yang sering menciderai dirinya dan orang lain berhasil menghantam kesadaran Andrew. Nyatanya semua itu bukan terjadi karena kecerobohan Abigail, namun karena penyakit yang dideritanya.

"Brengsek!"

Andrew memukul keras dinding bersama umpatan kemarahan yang keluar dari bibirnya. Abigail berhasil membuatnya menjadi pria paling jahat yang mengutuki kesakitan wanita itu karena pandangannya yang salah.

Setiap kali melihat Abigail terjatuh hanya ada tatapan muak, senyum penuh ejekan serta kata-kata kasar yang selalu Andrew berikan untuk wanita itu. Jangankan menolong, hati Andrew seakan membeku karena rasa muak hingga tidak bisa merasakan sedikitpun rasa iba atas luka yang didapati Abigail.

Andrew sungguh tidak mengerti. Bagaimana bisa Abigail tetap tersenyum setiap kali wanita itu terjatuh dan tubuhnya terluka? Bagaimana bisa Abigail menyembunyikan kesakitannya dibalik topeng keceriaan yang setiap hari ditunjukkannya?

Belum ada satu pasien pun yang berhasil sembuh dari penyakit langka ini.

Andrew menyandarkan tubuhnya yang mendadak lemas ke dinding. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan mengusik ketenangannya. Sekarang ia masih berada di lorong ruang rawat Abigail tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Semua kebenaran ini terlalu mengejutkan untuknya.

Sampai akhirnya, panggilan Jeslyn menyadarkan Andrew untuk kembali ke kamar dimana ibunya dirawat.

"Mom, bagaimana keadaanmu sekarang?"

Andrew berjalan lesu menuju ranjang dimana ibunya terlihat duduk sembari menerima suapan makanan yang diberikan Jeslyn.

"Mommy ingin pulang, Andrew. Mommy baik-baik saja. Kalian terlalu berlebihan mengkhawatirkan mommy."

"Kau bisa pulang setelah tekanan darahmu normal, Mom." ucap Willy penuh kesabaran. Pasalnya sejak tadi ibunya itu terus mendesak untuk meninggalkan rumah sakit.

Dokter memang tidak terlalu menyarankan Hanna untuk rawat inap, hanya saja mereka ingin mengambil langkah waspada agar tidak terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya itu.

"Aku juga ingin pulang, Dad. Aku tidak suka bau di tempat ini. Lagi pula aku tidak suka melihat grandma memakai selang menyeramkan seperti itu." Aldrich menyahuti dari arah sofa dimana anak lelaki itu sedang bermain dengan mainan robot yang dibawanya dari rumah.

Sontak saja ucapan polos Aldrich itu mengundang tawa ketiga orang dewasa di dekatnya. Ya, hanya tiga karena Andrew tidak bisa mencerna apapun yang diucapkan Aldrich saat pikirannya berkelana ke tempat lain.

Hello, Miss.A!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang