“Huh, gila jawaban bahasa Inggris yang nomor terakhir itu apa sih? A atau B?” ujar Asya seraya berdecak tak suka. Dia menatap beberapa temannya yang kini tengah berkumpul di depan koridor ruang ujian.“Yaelah masih dipikirin. Udahlah, lo nambah beban hidup gue aja, Sya.” Alvara hanya menoleh ke arah seseorang yang kini berbicara. Dia adalah Gorden, teman sekelas mereka. Satya dan Slamet yang ada di samping Gorden mengangguk-anggukan kepalanya.
Memang, setiap istirahat atau setelah melakukan kegiatan ujian, siswa-siswi dari kelas 12 MIPA 4 akan janjian untuk kumpul di depan koridor ruang komputer. Mempertanyakan jawaban atau menceritakan keluh kesah ujian yang sangat menyusahkan.
“Heh, A atau B?” ujar Tio menggerutu sebal. Dia mendongakkan wajahnya ke arah Asya yang tengah berdiri. Sementara cowok itu duduk di lantai seperti siswa yang lain.
“Gue—”
“Kan soal dari setiap siswa atau siswi itu diacak nomornya.” Asya yang mendengar ucapan Liana langsung melotot tajam. Cewek itu tertegun.
“Lah masa sih? Soalnya ada yang sama kayak gue nggak nomor terakhir?” ujar Asya menautkan alisnya.
“Diacak Asya ...,” ujar Liana mendengus kesal. Asya menghembuskan napasnya gusar. Lalu mengacak-acak rambutnya.
“Aduh, bangsat. Nilai gue gimana nih, banyak yang ngasal lagi ah!” ujar Asya kesal dengan dirinya sendiri. Keysa yang melihat itu menggelengkan kepalanya.
“Udah, gapapa. Berdoa aja yang terbaik, semoga dapet nilai memuaskan.” Asya mendecakkan bibirnya mendengar ucapan Salma.
“Tapi nilai gue kayaknya bakal kecil deh!" ujar Asya overthinking.
“Udah atuh, jangan dipikirin lagi. Yang penting kan udah usaha,” ujar Gorden kini berbicara. Dia menoleh ke arah Asya.
“Udah gapapa,” ujar Keysa menatap ke arah Asya. Dia mengelus puncak kepala gadis itu. Dia tiba-tiba menangis. Entahlah, Asya memang seperti itu. Jika sudah memikirkan nilai pasti cewek itu menangis tak jelas.
”Gue takut aja gitu nilai gue kecil.” Dengan wajah cemberutnya, Asya menoleh ke arah Keysa.
“Dah, tinggal tawakal.” Keysa tersenyum ke arah Asya yang kini tengah memijat keningnya. Cewek itu menghembuskan napasnya kasar beberapa saat.
“Temen gue pasti bisa kok, semoga nilai lo gede, Sya. Udah ya jangan sedih lagi!” ujar Keysa mengelus pundak Asya.
“Iya gue harus sabar, udah ya gue mau ke si Fafa. Ngilangin stress ya kali pake berantem sama Fafa juga asik kayaknya.” Dia melengos pergi dengan wajah kegirangan.
•••
“Mau lo apa lagi?” ujar seorang cowok dengan rahang kokohnya. Dia sudah tak kuat lagi menghadapi sikap manusia di hadapannya ini.
“Aku cuma mau kamu seutuhnya punyaku, bukan kayak robot gini.” Cowok itu hanya terdiam. Tak mampu menjawab apapun lagi.
Cowok itu menatap manik mata cewek di depannya ini. Kini mereka berada di dalam gudang. Tak ada satupun yang tahu mereka di sini.
“UDAH CUKUP.”
“Cukup? Kamu nggak mikir banget.” Dia terkekeh getir. Lalu bergelayut manja di lengan cowok yang kini pasrah dengan hal itu. Pikirannya melamun entah kemana.
“Aku bisa ngomong sejujurnya tentang semua itu,” lanjutnya lagi.
Cih. Cowok di depannya ini terkekeh seraya berdecih. “Gue bisa bunuh lo kapanpun gue mau.” Cowok itu mengepalkan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEYVANO [Selesai]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] Kalau cinta jangan maksa! Mungkin, kalimat itulah yang harusnya dia ucapkan terus-menerus kepada seorang cowok yang ditemuinya di sekolah milih sang Ayah. Diana Keysa Rafaeliza, tidak menyangka jika hidupnya yang terasa tenang...