Setelahnya,
Hari-hari berlalu dengan...entah bagaimana menjelaskannya. Hampa? Menyedihkan? Menyiksa? Kurang lebih seperti itulah fase-fase awal pasca putus bagi sejoli yang lagi sayang-sayangnya. Hanya saja kali ini tidak hanya berlaku pada satu pihak saja, melainkan kedua belah pihak.
Baik Gala maupun Moza, keduanya sama-sama tidak menyukasi kondisi semacam ini. Tapi mau bagaimana lagi?
“Lo gak capek apa ngediemin Moza kayak gini?”
Gala menghela napas berat, “Lo tau sendiri kan gue gak punya pilihan lain?”
“Karena terror itu?”
Gala mengangguk. “Tapi bukannya berhenti, malah sekarang lebih parah.” Ucapnya. Tadinya ia pikir setelah ia menuruti apa yang diminta peneror itu, semuanya akan berhenti. Tapi ternyata tidak, kenyataannya justru terror-terror itu lebih parah dari sebelumnya. Tadi pagi justru surat terror itu datang bersama bangkai tikus di atas kasurnya, dan beberapa hari lalu terdapat beling di sepatunya. Gala bahkan tak mengerti bagaimana cara si penerror itu masuk ke dalam rumahnya.
“Gue masih gak habis pikir. Sebenernya apa sih mau si penerror itu? Maksud gue, dia punya dendam ke lo? Atau ke keluarga lo gitu? Coba lo inget-inget deh, lo atau keluarga lo pernah punya masalah sama siapa aja. biasanya motif orang nerror karena itu.”
Gala menjawab dengan sebuah gelengan. “Gue lagi gak pengen bahas itu sekarang.”
“Yaudah.”
Gala menatap dengan tatapan menerawang. “Gila. Udah sebulan lebih ya?” Tanyanya.
“Sebulan lebih lo kayak mayat hidup.”
“Gas,” Gala menoleh pada Bagas yang kini duduk di bangku sebelahnya. Mereka berdua berada di dalam ruang kelas sekarang. “Emang muka gue seburuk itu ya?” Tanya cowok itu. “Perasaan masih ganteng deh.”
Bagas mendengus. “Ya gini nih bunda kalo anak kebanyakan dikasih skincare, bukannya makanan bernutrisi.” Ledeknya.
“Please lah, gue lagi pusing.” Keluh Gala. “Jangan nambahin beban pikiran gue.”
“Dasar bucin.” Cibirnya.
“Hei.” Gala menggebrak pelan bangku dengan tangannya. “Enak aja bilang gue bucin.” Ucapnya tersulut. “Emang iya sih, tapi kan ya gak separah itu sampe-sampe segala hal di hidup gue tentang cewek itu. Gue masih bisa hidup kalo gak ada dia.”
“Tapi hidup lo udah gak kayak manusia lagi, lebih mirip mayat hidup.” Balas Bagas.
“Gue pusing bukan cuma gara-gara Moza. Tapi ini-” Gala mengangkat bank soal matematika yang tebalnya hampir 1000 halaman itu. sedari tadi, ia berjuang mati-matian berkutat soal perhitungan, grafik, tabel, bangun ruang, dan tetek bengeknya. Bagas yang memaksanya mengerjakan itu, demi mempersiapkan ujian akhir yang akan dilaksakan sepuluh hari lagi. “Ini demi UN doang nih gue mau kayak gini.”
Bagas tertawa kecil melihat tingkah Gala.
“Dih. Pake ketawa segala.” Ucap Gala tak terima. “Seneng banget lihat gue susah.”
“Yang bener ngerjainnya. Habis ini gue kasih buku tambahan.”
-<>-
“Nih bukunya”
Violet membanting pelan setumpuk buku yang dipegangnya ke atas meja. Hingga membuat siswa yang ada di perpustakaan melihat ke arah Moza.
“Buseetttt...” Moza terbelalak melihat tumpukan buku yang dilimpahkan Violet padanya.
“Udah, tugas gue buat ngebantu lo selesai.” Ucap Violet sembari membersihkan debu di tangannya, lalu melangkah menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELICATE
Teen FictionSEKUEL MANGGALA Ketika semesta kembali memainkan permainannya, menghadapkan pada dua pilihan berat. Menyerah, atau bertahan dan membiarkan semuanya berantakan. ... Bermula dari tantangan konyol demi sebuah tiket liburan, Gala dan Moza tak menyangka...