-16-

209 30 3
                                    

“Lo serius mau kasih tau Moza kebenarannya?”

Gala mendesah berat. Sejujurnya, ia juga ragu akan hal itu. Ia takut jika Moza mengetahui alasan kenapa ia memutuskannya, cewek itu akan ikut terseret dalam masalahnya. Namun mau bagaimana lagi? Ia sudah tak tahan menahannya, ia tak bisa terus-terusan mendiamkan Moza tanpa penjelasan seperti ini.

Paling tidak, Moza harus tau kalau Gala tidak sedang mempermainkannya.

“Entahlah, gue juga bingung.” Jujur Gala. “Posisi gue serba salah, Ta.”

“Ini hidup lo. Lo yang harus tentuin sendiri keputusan apa yang mau lo ambil.” Ucap Genta dari seberang telepon. “Gue cuma mau bilang, kalo lo ungkapin ke Moza soal gue, secara otomatis lo juga bakal cerita ke dia soal terror-terror yang lo dapet.”

“Jujur, gue gak tau harus gimana. Gue bahkan gak tau harus percaya sama siapa sekarang.”

Gala juga jadi ragu untuk percaya pada Genta sekarang. Ia kembali teringat soal sticky notes yang tertempel pada mobilnya sebulan yang lalu. Kejadiannya terjadi tepat setelah Genta menjelaskan alasannya memutuskan Moza. Gala tak bisa memungkiri bahwa sekarang ia jadi sulit mempercayai siapapun, seakan semua orang terlihat mencurigakan baginya.

“Gue ngerti.” Ucap Genta.

“Lo nanti bisa dateng kan?” Tanya Gala. Cowok itu memang sengaja mengundang Genta, agar penjelasannya bisa lebih diterima oleh Moza. Ia ingin agar tidak ada kesalahpahaman lagi diantara mereka.

“Bisa.” Genta menyanggupi. “Dark Bule caffe jam delapan malem. Gue inget kok.”

“Oke oke.” Balas Gala. “Trus gimana sama pemotretannya?”

“Aman.”

“Bagus deh kalo gitu.”

“Tapi bukannya sekolah lo udah libur ya? Harusnya lo punya waktu luang banyak sekarang.” Ucap Genta. “Kenapa lo malah suruh gue gantiin lo lagi sekarang?”

“Gue gak bisa. Lagi di rumah sakit.” Jawab Gala.

“Oh gitu ya,” Ucap Genta, nada bicara memelan. Gala dapat merasakan itu. “Take care ya. Urusan pemotretan lo tenang aja, gue bisa atasi. Lo fokus aja sama pengobatan lo.”

“Thanks.”

“Udah ya, gue tutup. Om Beni udah manggil.”

“Oke, bye.” Gala menutup sambungan teleponnya.

Tak lama, seorang perawat datang untuk melepas selang yang tertanam di lengannya.

“Sudah selesai, Sus?” Tanya cowok itu. “Saya udah boleh pulang?”

“Sudah selesai, Mas.” Jawab perawat tersebut. “Tapi sebaiknya istirahat dulu sebentar, kalau-kalau masih merasa pusing.” Sarannya. Perawat itu pun undur diri.

Gala menghela napas, mungkin sebaiknya ia harus istirahat sebentar disini. Kepalanya juga masih terasa pusing sekarang.

***

Cewek itu melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit sembari menelisik setiap papan nama yang tertera di depan pintu.

“Mana ya ruangannya?” Gumamnya.

Ia menoleh acak, dan secara kebetulan mendapati sesorang tengah terbaring di dalam sebuah ruangan. Ia merasa familiar dengan orang itu, “Itu bukannya Gala ya? Tapi ngapain dia disini.”

Cewek itu melangkah mendekat, lalu terdiam bebrapa detik di depan pintu ruangan sembari memperhatikan. Wajah orang itu tidak terlihat karena posisi tidurnya yang miring ke sisi berlawanan, namun dari postur tubuh, rambut, dan lain-lain, ia bisa menduga kalau cowok itu adalah Gala.

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang