"Udah gak waras ya lo?!" Cibir Milly.
Harusnya, Milly sudah duduk di kursi pesawat saat ini, jika saja Gala tidak tiba-tiba berlari menghampiri dan memeluknya.
Cowok itu bahkan masih mengenakan baju pasien.
"Jangan bilang lo kabur dari rumah sakit." Cewek itu berusaha melepaskan diri dari pelukan Gala, namun cowok itu malah memeluknya semakin erat.
"Gak boleh ya gue peluk lo terakhir kali sebelum lo pergi?"
"Ngomong lo kayak gue gabakal balik aja." Cibir Milly. Kini ia sudah lepas dari pelukan cowok itu.
Gala nyengir. "Ya, gue takut aja ntar lo kangen." Ucapnya enteng. "Pelukan gue kan ngangenin." Ia melirik Moza yang berdiri di sebelahnya, "Iya kan, kecebong?"
Moza tersenyum malu. "Apaan sih?!"
Gala terkekeh melihat tingkah cewek itu. Ia lalu menoleh pada Mama dan Papanya. "Mama sama Papa tenang aja. Gala baik-baik aja. Malahan, kata dokter hari ini udah boleh pulang." Cowok itu melirik sejenak pakaian yang dikenakannya. "Cuma ya, tadi gak sempetganti baju."
Milly mendengus. "Balikin buruan tuh baju." Cibirnya. "Ntar yang ada lo dikira pasien kabur lagi. Emang pasien kabur sih."
Cowok itu berdecak. "Mau minggat aja masih nybelin lo."
Milly terkekeh mendengar kalimat nyeleneh cowok itu, "Lo yang paling nyebelin. Titik. Gapake koma, apalagi tanda tanya." Ia melirik jam tangannya. "Pesawat gue udah mau take off. Gue udah harus masuk sekarang. Ada pesan-pesan terakhir sebelum gue minggat, curut albino?"
"Jangan nyusahin anak orang."
"Kampret lo!"
---
Gala duduk bersandar pada salah satu sisi tempat tidurnya sambil menatap langit-langit ruangan. Seharian ini, cowok itu dikurung, tidak boleh keluar kamar. Alasannya, agar ia bisa istirahat. Sedari pagi, cowok itu sama sekali tak mau diam, padahal sudah jelas dokter memperbolehkannya pulang dengan syarat harus istirahat total.Tok..tok...tok...
Pintu kamar Gala terbuka sedikit, tak lama setelah bunyi ketuka terdengar. Dari sana, tampak Bagas menyembulkan kepalanya ke dalam. "Keberatan kali gue masuk?" Tanyanya.
Gala menghela napas lega. "Untung lo kesini." Ucapnya. "Masuk buruan."
Bagas mengangguk, kemudian masuk. Tak lupa, ia menutup kembali pintu kamar tersebut. "Gimana kabar lo?" Tanyanya. Ia kini duduk di sebelah Gala.
"Gue gak papa. Orang-orang aja yang pada parno." Ucap Gala. "Gila. Bisa mati kebosanan gue kalo gini terus." Gerutunya.
Tampak salah satu sudut bibir Bagas tertarik. "Gimana gak parno coba, tiba-tiba aja lo pingsan kemaren." Ia memberitahu. "Emang lo kenapa sih? Kok bisa sampe pingsan."
"Keracunan makanan." Jawab Gala singkat.
"Kok bisa?"
Gala mengedikkan bahu. "Gue juga gak tau."
"Padahal kemaren lo makan sepiring berdua sama Moza." Celetuk Bagas.
Gala menyeringai. "Kenapa? Iri?" Tanyanya ngawur. "Makanya ntar-ntar kalo jalan sama Tara, tiru cara gue."
"Ngaco lo." Dengus Bagas. "Bukan itu maksud gue."
"Trus apa?"
"Ya, kalo Moza aja gak kenapa-napa, kenapa cuma lo yang keracunan?"
Gala terdiam, benar juga yang dikatakan Bagas. Jika memang ia keracunan, atau bisa juga sengaja diracuni, racun itu jelas bukan berasal dari makanannya.
"Siapa yang ngambil minumannya kemaren?" Tanya Gala. ia paham betul jika cafe yang mereka datangai sabtu malam kemarin memiliki tempat yang berbeda untuk pemesanan makanan dan minumannya. Makanan pesanan biasanya diantar langsung ke meja pelanggan, sedangkan untuk minuman, biasanya diambil langsung di meja take away.
Bagas terdiam sejenak, tampak mengingat. "Seinget gue Gino yang ambil." Ucapnya. "Tapi gue gak yakin juga, soalnya kemaren gue keluar sebentar buat angkat telfon."
"Bener dugaan gue." Gala beranjak, menuju nakas di samping kiri tempat tidurnya, mengambil beberapa lembar kertas yang telah diremat sebelumnya, lalu memberikan kertas tersebut pada Bagas.
"Apaan ini?" Bagas memandang dengan kening berkerut benda yang diberikan cowok itu padanya.
"Baca." Perintah Gala.
"O-oke." Bagas meraih kertas-kertas tersebut dan membacanya. "Ini maksudnya apa? Trus Y.BE itu siapa?"
Gala mengedikkan bahu.
Bagas tampak berpikir, berusaha mencerna situasi yang ada. "Wait, wait. Jangan bilang kalo ini-"
"Surat terror." Potong Gala.
Salah satu sudut bibir Bagas terangkat. "Ya elah, Gal. Gini aja lo pikirin. Paling juga cuma kerjaan orang iseng." Ucapnya.
"Ini sama sekali bukan kerjaan orang iseng." Sergah Gala. "Lo pikir racun di minuman gue itu kerjaan orang iseng? Dan mimpi gue-" Gala buru-buru menghentikan perkataannya. Sepertinya menceritakan mimpi yang ia dapat, apalagi menghubung-hubungkannya dengan surat-surat terror itu akan benar-benar terdengar konyol. Meski sebenarnya, entah kenapa, ia merasa seakan semua itu saling berhubungan.
"Mimpi?"
Gala terdiam sejenak, kemudian menceritakan mimpi buruk yang ia dapat pada Bagas, mengenai dirinya dan Moza yang disekap dalam ruangan gelap, dan seorang pria yang hendak membunuh cewek itu.
"Mimpi kan cuma bunga tidur." Bagas berkomentar. "Gak ada artinya apa-apa."
Gala menghela napas berat. "Gas, percaya sama gue. Kalo mimpi itu gak ada artinya apa-apa, gue gak akan setakut ini sekarang." Ucapnya. "Gue khawatir sama Moza."
"Oke. Gue percaya sama lo." Ucap Bagas pada akhirnya, meski sebenarnya, ia juga masih meragukan praduga cowok itu.
"Gue curiga orang yang nerror gue itu-"
"Gino?" Tebak Bagas. Sepertinya ia sudah menangkap arah pembicaraan Gala.
Gala terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Sebenarnya, perasaannya sudah tak enak sejak Gino dan Nadine mendatangi mejanya kemarin. Ekspresi wajah Gino tampak tak senang dengannya. Dari sorot matanya, seakan Gino menyimpan dendam padanya. Dan Gala tahu apa alasan dibalik itu.
"Gimana bisa?" Tanya Bagas. "Maksud gue, apa motifnya?"
"Nadine."
TBC
Jengjengjeng....
Gimana? Udah mulai ketebak jalan ceritanya?
Semoga tebakan kalian bener yaaa🤭🤭🤭
.
Terimakasih sudah membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak
See ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
DELICATE
Teen FictionSEKUEL MANGGALA Ketika semesta kembali memainkan permainannya, menghadapkan pada dua pilihan berat. Menyerah, atau bertahan dan membiarkan semuanya berantakan. ... Bermula dari tantangan konyol demi sebuah tiket liburan, Gala dan Moza tak menyangka...