-11-

495 44 8
                                    

Cowok itu terbatuk, memuntahkan air dari dalam tubuhnya. Syukurlah, ada seseorang yang menemukan dan menyelamatkanya tepat waktu.

Gala akan sangat berterima kasih pada orang itu.

Perlahan, cowok itu membuka kedua mata.

"Syukur lo udah sadar." Ucap orang yang menolong Gala.

Gala merasa familiar dengan suara itu, wajah orang itu juga tampak tak asing, meski penglihatannya kini masih kabur.

"Gino," Ucap Gala, setengah ragu.

Orang itu membalas dengan senyum simpul. "Sini biar gue bantu berdiri." Ucapnya, sembari mengulurkan tangan pada Gala.

Gala meraih uluran tangan tersebut.

"Lo gak papa kan?" Tanya Gino.

Gala menggeleng pelan, "Thanks ya."

"Sama-sama."

Tanpa membalas, Gala melangkah ke ruang ganti, meninggalkan Gino yang di tepi kolam.

.

Sekebalinya dari ruang ganti, Gala melihat Gino tengah membaca sebuah berkas dari dalam tasnya.

Tanpa pikir panjang, Gala langsng berlari menghampiri Gino dan merebut paksa berkas tersebut dari tangannya.

"Lo gak ada hak buat mainin barang-barang gue!" Ucap Gala penuh penekanan.

"Kenapa lo gak cerita?" Tanya Gino.

"Gak perlu."

"Gal, jelasin ke gue." Gino menunjuk berkas yang kini berada di tangan Gala. "Jelasin ke gue apa maksudnya ini."

"Ini bukan urusa lo!"

***

“Gala, yang fokus dong.” Seru Om Beni, sang photografer. Sudah hampir setengah jam sesi pemotretan dimulai, tapi belum juga mendapatkan gambar yang bagus.  “Lo lagi ada masalah apa sih?”

“Sorry. Sorry. Ulang sekali lagi, Om.”

Genta kebingungan setengah mati bagaimana cara memosisikan dirinya seperti Gala, apalagi ia belum pernah bergaya di depan kamera. Ini bahkan lebih sulit daripada mengurus bocah.

Jujur, ia menyesal menerima tawaran cowok itu. Tapi terlambat sudah, penyesalan sama sekali tak ada gunanya. Kini cowok yang malang itu mau tak mau harus menyelesaikan perjanjiannya.

“Break dulu, Bos. Kayaknya tuh anak lagi gak fit.” Seru salah seorang kru.

“Oke. Kita istirahat sepuluh menit.”

Genta akhirnya dapat bernapas lega. Setidaknya untuk sepuluh menit ke depan, ia takkan berurusan dengan blitz kamera.

Cowok itu mengambil ponselnya di meja rias, kemudian menekan beberapa digit dan membuat panggilan.

“Ada apa?” Ucap seseorang dari seberang telepon, tepat setelah panggilan tersambung.

“Gue nyerah, Gal. Gue gak bisa.”

“Baru juga sekali, udah nyerah aja. Cupu lo.”

Genta berdecak, “Gue serius, Gal. Gue gak pengen bikin karir lo ancur.”

Terdengar kekehan dari seberang telepon, “Emang lo pikir gue peduli sama karir gue? Enggak sama sekali.”

Genta mengusap kasar wajahnya, entah bagaimana lagi cara untuk membuat Gala mengerti. “Gue serius. Gue gak bisa.”

“Lo ngerasa itu susah, karena lo mikir kalo itu beban. Coba deh, lo bawa santai. Ntar juga kebawa enak.”

“Gue nyerah,”

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang