Gala memarkirkan mobilnya di halaman depan rumahnya. Ia kemudian membuka seatbelt-nya dan turun.
"Eh, jangan tinggalin gue." Moza buru-buru membuka seatbelt.
Saat hendak meraih pintu mobil, pintu itu sudah terbuka dari luar.
"Tuan putri gak boleh buka pintu sendiri." Ucap Gala dengan senyum simpulnya.
Cowok itu kemudian mengulurkan tangan kanannya,
Moza meraih uluran tangan tersebut, "Makasih, babu." Ucapnya seusai turun.
"Kok babu?" Tanya Gala tidak terima.
"Iya, banginda prabu."
Gala tersenyum kecut, ia langsung melepaskan genggamannya begitu sampai di pintu utama. "Nyingkatnya maksa banget. Sengaja kan pengen ngeledek?"
"Hehehe, maap." Ucap Moza sambil mengangkat dua jarinya, membentuk lambang damai.
Cewek itu lalu meraih gagang pintu, hendak membukanya. Namun cekalan tangan Gala sukses menghentikan pergerakannya. "Kenapa?" Bingungnya.
"Bentar." Gala menarik napas panjang dari hidungnya, kemudian menghembuskan dari mulutnya.
"Kenapa jadi lo yang kikuk? Ini kan rumah lo."
Cowok itu menoleh. "Ini rumah horror." Ucapnya bernada serius.
Moza menelan ludah. Entah kemana pikirannya saat ini. Tapi yang jelas, sosok pertama yang muncul dalam benaknya adalah arwah penasaran atau makhluk menyeramkan lainnya.
Gala menyeringai melihat ekspresi takut cewek itu. "Nasib gue selalu sial di rumah ini. Dan gue selalu jadi bahan bully-an. Horror kan?"
Moza merengut. "Ih, nyebelin banget sih. Gue kira-"
"Lo takut?"
"Eng-gak. Gak takut."
"Udah, jujur aja. Lo gak bakat bohong."
Cewek itu perlahan mengangguk.
Gala tersenyum singkat, "Selama ada Gala di samping lo, gak ada yang perlu ditakutin." Ucapnya sambil membuka pintu, "Silahkan masuk." Ucapnya, mirip mas-mas SPB.
Moza melangkahkan kakinya masuk, ke rumah besar bergaya minimalis itu. Pandangannya selalu teralih pada foto keluarga di ruang tamu begitu memasukinya.
“Eh, ada calon mantu.”
Moza langsung menoleh begitu mendengar perkataan itu. Matanya dengan cepat menangkap sosok pria paruh baya bersetelan jas rapi yang baru saja turun dari tangga. Ia langsung menghampiri pria paruh baya itu, kemudian menyalami tangannya. “Selamat siang, Om Dewa.” Sapanya.
"Kamu kesini sama siapa, Nak?" Tanya pria itu.
"Sama babu, Pa." Milly muncul dari arah dapur sambil membawa segelas smoothie stroberi.
Dan berbarengan dengan itu, masuklah Gala.
“Tuh babunya dateng.” Ledek Milly.
"Rese lo, Kak." Dengus Gala.
Milly melirik Gala malas. “Ada juga elu.”
"Kecebong bunting.”
“Curut albino.”
"Udah. Udah. Gak baik ngumbar aib anak sendiri depan calon mantu." Milly melirik Moza yang sudah mati-matian menahan tawa. "Ntar anaknya gak mau lagi."
“Dasar Kakak durhaka.”
“Adek gaada akhlak.”
Dewa terkekeh pelan mendengar pertengkaran tak berfaedah anak-anaknya itu, “Papa mau ke kantor dulu, ada meeting.” Ia memberitahu. “Kalian jaga rumah ya.” Ucap pria paruh baya itu sembari melangkah keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELICATE
Roman pour AdolescentsSEKUEL MANGGALA Ketika semesta kembali memainkan permainannya, menghadapkan pada dua pilihan berat. Menyerah, atau bertahan dan membiarkan semuanya berantakan. ... Bermula dari tantangan konyol demi sebuah tiket liburan, Gala dan Moza tak menyangka...