Moza terduduk cukup lama, sembari memandangi tulisan nama Manggala Dewananta yang tertera dalam nisan yang ada di depannya. Perlahan, cewek itu mengulurkan tangan, menyentuh bagian atas nisan itu.
“Gue masih gak nyangka kalo tempat ini jadi tempat yang sering gue datangi beberapa hari ini.” Ucap cewek itu getir, matanya mulai mengembun. “Gue masih gak nyangka kalo cowok yang gue sayang, yang selalu bisa bikin gue senyum, pergi secepat ini ninggalin gue, ninggalin semua orang.”
“Lo jahat, Gal. Lo pergi tanpa pamit, ninggalin semua orang yang sayang sama lo gitu aja. Tapi mau gimana lagi, kita gak bisa ngubah takdir kan? Yang bisa kita lakuin cuma ikhlas menerimanya. Ngeyel dan marah gak akan buat keadaan jadi lebih baik.” Moza mengusap pipinya yang sudah basah terkena air mata. “Gue udah berusaha buat ikhlas, supaya lo juga bisa tenang disana. Tapi kalo boleh gue jujur, ini berat, Gal. Rasanya susah banget. Nyoba buat ikhlas dan mulai tersenyum saat alasan di balik senyuman gue itu lo.”
“Gue gak sanggup, Gal. Gue gak kuat. Gue sakit. Gue sedih. Gue butuh pundak untuk bersandar.” Moza merunduk, menempelkan keningnya pada salah satu sisi nisan di depannya. Air matanya semakin tak terbendung ketika mengingat kembali kenangan-kenangan manisnya dengan Gala. Hatinya hancur ketika harus menerima kenyataan bahwa Gala telah pergi selama-lamanya. “Gue kangen sama lo, Gal. Gue butuh lo disini.”
Kini, yang terdengar hanyalah isakan cewek itu.
Sebuah tangan terulur, mengusap lembut pundak Moza, membuatnya spntan menoleh dan menegakkan punggung. Dari ujung matanya yang berlinang, ia mendapati seorang cewek berlutut di dekatnya.
“Nadine,” Ucap Moza lirih.
Nadine mengulum senyum pada Moza. “Gala beruntung punya lo di hidupnya.”
Moza terdiam, tak bereaksi dengan ucapan Nadine barusan. Jika keadaannya berbeda, jika Gala ada bersamanya, perkataan itu pasti akan membuatnya berbunga-bunga. Tapi itu tidak berlaku untuk sekarang.
“Apa lo juga sedih atas kepergian Gala?” Tanya Moza.
“Gak ada satu pun orang yang akan baik-baik aja ketika kehilangan orang yang mereka sayang.” Balas Nadine. “Sama seperti lo, gue juga sedih.”
“Lo pandai menutupi perasaan.” Sekiranya itulah hal yang tepat untuk menggambarkan Nadine, menurut Moza. Nadine bilang padanya bahwa ia sedih, dan Moza juga meyakini itu. terlihat dari mata cewek itu yang terlihat sembab, meski sedikit tersamar oleh make up yang ia gunakan.
Nadine termasuk tipe orang yang pandai mengendalikan diri dan menyembunyikan perasaannya. Ia selalu bisa terlihat tenang baik-baik saja.
“Banyak yang bilang gitu.” Balas Nadine. Pandangannya kini terarah pada nisan yang ada di depannya. “Gue sayang sama Gala,” Ia menoleh sejenak pada Moza. “Cuma bedanya rasa sayang gur gak sebesar dan setulus lo, mungkin itu sebabnya Gala lebih milih lo dibanding gue.”
“Apa lo marah sama gue? Karena dia lebih milih gue?”
“Gue gak marah, tapi gak bisa terima juga.” Nadine mengakui. “Tapi gue juga yang salah sih. Gue terlalu mentingin gengsi, terlalu menuntut Gala buat jadi seperti apa yang gue mau. Gue gak ngerespon saat dia ngejar gue. Jadi ya, gue gak bisa marah juga dong kalo akhirnya dia jadi milik orang lain.”
Moza diam, bingung bagaimana menanggapinya.
Hening,
Kedua orang itu menoleh ketika terdengar suara langkah kaki mendekat.
“Lo udah ditunggu di depan.” Ucap si pemilik langkah kaki itu.
Nadine terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Ia menoleh pada Moza. “Gue tinggal dulu ya.” Pamitnya pada Moza. Cewek itu pun berdiri dan menghampiri orang yang baru saja datang itu. “Temani Moza disini dulu ya, gue bisa pergi sendiri.” Ucapnya, lalu melangkah menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELICATE
Teen FictionSEKUEL MANGGALA Ketika semesta kembali memainkan permainannya, menghadapkan pada dua pilihan berat. Menyerah, atau bertahan dan membiarkan semuanya berantakan. ... Bermula dari tantangan konyol demi sebuah tiket liburan, Gala dan Moza tak menyangka...