-22-

207 34 1
                                    

Angin mendesir pelan, membelai rerumputan hijau di tepi danau.

Genta masih terdiam usai melihat isi map milik Gala.

"Gue kacau banget waktu itu." Gala terkekeh, menyembunyikan suaranya yang gemetar. "Gue bahkan gak sadar udah akibat dari tindakan bodoh yang gue lakuin. Gue gak ngerti dampak apa yang ditimbulin obat-obatan itu." Ucapnya.

“Dulu, hampir tiap malam, gue selalu minum obat penenang dengan dosis lebih cuma agar gue bisa tenang, gue bisa tidur nyenyak tanpa harus mikirin terutama masalah di rumah.”

“Separah itu kah masalah di rumah lo?” Tanya Genta.

Gala tersenyum mendengar itu. “Percaya sama gue, semenit pun lo gak bakal tahan denger pertengkaran mereka.” Candanya. “Kamar gue sebelahan sama kamar Mama-Papa, jadi hampir tiap malem gue pasti denger mereka teriak dan ngebentak. Tapi itu dulu, keadaannya udah lebih baik sekarang.”

Tangan Genta terulur, menepuk-nepuk pundak Gala.

“Lo tau, Ta, hal yang paling sialnya apa?” Gala menoleh pada Genta. “Tubuh gue gak bisa nerima obat-obat itu. obat-obat itu udah ngerusak hati dan ginjal gue. Ginjal gue cuma ada satu, dan itu pun udah rusak sekarang.” Ia memberitahu. “Gue pernah jadi korban penculikan waktu kecil, dan para penculik itu ambil salah satu ginjal gue buat dijual.”

Genta membulatkan mata ketika mendengar pernyataan Gala barusan. “L-lo pernah diculik?”

Gala mengangguk pelan. “Kejadiannya waktu gue SD. Gue gak inget gimana persisnya. Yang gue inget ada yang ngebius gue dari belakang, dan setelah ketika gue sadar, gue udah ada di dalam bak yang isinya air es.” Jelasnya. “Tapi udahlah, jangan bahas-bahas itu lagi. Lagipula udah berlalu. Sekarang gue mau nikmati hidup gue yang udah gak lama-”

"Lo bukan Tuhan. Lo gak bisa tentuin berapa lama lo hidup atau kapan waktu kematian lo."

Gala terkekeh pelan, kemudian menoleh. "Lo juga bukan Tuhan."

Mama Maya semakin terisak mendengar penjelasan cowok itu. Iatak menyangka anaknya bisa menyembunyikan hal sebesar itu darinya. "Mama yang salah. Harusnya Mama selalu ada buat Gala. Harusnya-" Wanita itu semakin tak dapat mengendalikan isakannya.

"Mama gak salah. Gala gak pernah benci sama Mama." Cowok itu menggenggam erat tangan Mamanya, kemudian memeluknya. "Mama jangan nangis lagi. Gala gak akan suka lihat itu."

“Harusnya lo yang ada di posisi gue sekarang, Ta. Harusnya lo yang meluk dan nenangin Mama sekarang.” Batin Gala. “Maafin Gala, Ma.” Ucap cowok itu lirih. Ia lalu mengendurkan pelukannya.

“Ma,” Panggil Milly. “Milly antar ke kamar ya.” Tawarnya. “Biar Genta bisa istirahat. Dia masih dalam tahap pemulihan sekarang.”

Wanita paruh baya itu mengangguk. “Mama tinggal dulu ya.” Ia kemudian melangkah keluar kamar, disusul Milly di belakangnya.

“Maafin Gala, Ma. Gala harus bohong ke Mama.” Lirihnya ketika melihat Mamanya itu pergi dari kamarnya.

Gala bergerak menuju pintu kamar, menutupnya.

Pyaarrr.....

Cowok itu spontan menoleh ketika mendengar suara kaca pecah. Ia langsung berlari menuju sumber suara. Dilihatnya selembar kertas yang diremat pada batu berukuran sedang dilempar seseorang hingga memecahkan kaca jendelanya. Ia lalu mengambil rematan kertas tersebut dan membukanya.

Dalam kertas berukuran 10 x 15 sentimeter itu tertulis jelas dengan spidol berwarna merah,

Satu sudah tumbang, kini giliran satu yang lainnya. Oh ya, jangan lupakan si pemeran wanita. Kisahnya pasti akan seru.’

TBC

Wah wah wah.....surat terror baruuu

Hmm... kira-kira ada yang paham maksudnya???

.

Ikuti terus kelanjutannya yaa

Terimakasih sudah membaca

Jangan lupa tinggalkan jejak

See you

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang