-27-

212 38 0
                                    

Gala masih bertahan di posisinya tanpa bergeser sedikitpun. Ia sama sekali tak melawan pukulan bertubi-tubi yang cewek itu arahkan padanya.

“Maksud lo apa?! Lo pikir ini mainan?!” Teriak Milly untuk yang kesekian kali. Tak terbayangkan seperti apa kekecewaannya sekarang, ketika mengetahui adiknya melakukan kebohongan besar.

Gala hanya bisa tertunduk. Cowok itu sama sekali tak punya keberanian untuk menatap mata Mama, Papa dan Kakaknya.

“Lo gak lihat gimana sedihnya Papa sama Mama?! Lo gak lihat gimana hancurnya mereka? Kenapa lo lakuin ini?”

Cowok itu terdiam.

“Kenapa lo lakuin ini? jawab!” Milly memelankan pukulannya pada dada bidang cowok itu. “Gue hampir gila begitu tau lo udah meninggal.”

“Jadi kalo lo tau yang meninggal itu bukan gue, tapi Genta, lo gak akan sedih?” Tatapan Gala kini beralih pada Mama dan Papanya yang sedari tadi bungkam.

Cowok itu menurunkan tangan Milly, kemudian melangkah ke arah kedua orang tuanya.

“Apa kalian gak akan sedih kalo tau yang meninggal itu Genta?” Tanyanya. “Gala atau Genta, gak ada bedanya kan? Kalian tetep kehilangan satu anak.”

“Bukan begitu, Nak.” Ucap Mama Maya dengan suara bergetar.

“Atau jangan-jangan kalian emang gak pernah anggap Genta ada. Iya?”

Plakk...

“Jaga omongan kamu!” Bentak Papa Dewa.

Gala tersenyum getir sambil memegang pipi kanannya. “Papa mau tampar?” Cowok itu meraih tangan kanan Papanya, dan menamparkannya ke wajahnya sendiri. “Tampar aja. tampar sebanyak yang Papa mau.”

“Apa yang kamu lakukan?” Papa Dewa berusaha menahan tangannya agar tidak sampai mengenai pipi Gala,

“Tampar, Pa! Papa marah kan sama Gala?!”

“Sudah, Gala!” Mama Maya menurunkan paksa tangan Gala dan tangan Papa Dewa. Tangan wanita terulur, mendekap tubuh Gala. Menenangkannya.

“Harusnya Gala yang mati waktu itu kalau seandainya Genta gak donorin hati dan ginjalnya.” Racaunya. “Genta terlalu baik, Ma. Dia gak pantas dapat ini semua. Dia yang lebih pantas untuk hidup, bukannya Gala.” Gala semakin meringkuk di dalam pelukan wanita paruh baya itu.
Mama Maya mengusap lembut rambut cowok itu. Ia masih berusaha tegar. Meski sebenarnya, hatinya sangat hancur.

“Gala pantas dibenci, Ma. Gala yang udah bikin Genta pergi.”

...

-<>-

“Aku seneng, akhirnya kamu jujur ke semua orang.”

Suara cewek itu langsung membuat Gala menoleh. Keningnya berkerut ketika mendapati siapa yang datang. “Lisa?”

Cewek itu tersenyum singkat, kemudian meraba-rabakan tongkatnya, menghampiri cowok itu.

Gala dengan sigap bangkit, membantu cewek itu. “Sini, biar gue bantu.” Ucapnya, sambil menuntun cewek itu menuju batu besar di tepi danau.

.

Hening.

“Kamu pasti kesini mau nenangin diri.” Ucap Lisa.

“Darimana lo tau?”

“Asal nebak aja.” Cewek itu menghela napas berat. “Dulu Genta juga sering kesini kalo lagi sedih.” Ucapnya.

Gala menatap dalam sepasang mata cewek itu yang tampak berlinangan. “Maafin gue.” Lirihnya.

Cewek itu terkekeh pelan, “Kenapa kamu minta maaf? Bukan kamu kan yang bunuh Genta?”

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang