-17-

214 31 6
                                    

“Gue tadi lihat lo di rumah sakit.” Bagas menatap dengan mata menyipit pada Gala. “Ngapain kesana? Trus itu luka,” Cowok itu menunjuk bekas suntikan pada lengan kiri bagian dalam Gala yang tampak agak membiru.

Luka itu tersamar oleh plester, namun lebam biru disekitarnya tampak jelas. Apalagi Gala saat itu hanya mengenakan kaos lengan pendek.

“Oh, ini.” Gala tak langsung melanjutkan. Ia berusaha mencari alasan yang logis. “I-itu, gue habis donor darah. Iya, donor darah. Ini kan udah jadwalnya gue donor.” Alibinya.

“Oh, gue kirain ada apa.”

Gala menghembuskan napas lega. Syukurlah Bagas tidak menanyainya macam-macam. “Gue balik ke kamar dulu.” Pamitnya.

Bagas mengangguk.

Tanpa berlama-lama, Gala bergegas menaiki anak tangga, menuju kamarnya di lantai dua. Ketika dalam perjalanan ke kamar, cowok itu melewati kamar Papa-Mamanya. Kebetulan pintu kamar tersebut terbuka setengah, padahal biasanya selalu tertutup.

Dari celah pintu, tampak Papanya, Dewa, tengah duduk di sisi depan ranjang sembari melihat-lihat album foto.

Gala mengetuk pintu kamar Papanya, kemudian mencondongkan tubuhnya ke dalam sedikit. “Pa,” Panggilnya. “Boleh Gala masuk?”

Papa Dewa mendongak, kemudian menurunkan kacamatanya. “Masuk aja.”

Cowok itu melangkah masuk.

“Duduk disini.” Papa Dewa menggeser tubuhnya, memberi tempat untuk Gala.

Cowok itu mengangguk, kemudian duduk di sebelah Papanya. “Lagi lihat-lihat foto lama ya?” Tanyanya.

Pria paruh baya itu tersenyum, kemudian menunjukkan isi album foto yang tadi dilihatnya. “Papa lagi lihat foto-foto masa kecilmu dan Kakakmu.” Ia menunjuk salah satu foto, di foto itu menunjukkan ada seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang tampak mengenakan seragam saling merangkul, “Ini waktu hari pertama kamu masuk sekolah.”

Gala tersenyum melihat foto itu. ia masih ingat betul di hari pertamanya masuk sekolah, ia menangis dan tak mau pergi karena Mamanya melarangnya membawa mainan robot kesayangannya. Tapi akhirnya ia mau berangkat karena Milly Kakaknya berjanji akan mentraktirnya es krim di kantin sekolah. Konyol sekali. Gala jadi malu sendiri jika mengingat kejadian itu.

“Waktu cepat berlalu.” Ucap Papa Dewa. “Rasanya baru kemarin Papa antar kamu waktu hari pertama masuk sekolah, sekarang kamu sudah lulus SMA dan mau kuliah.”

“Udah deh, Pa. Gala tau Gala ngangenin.” Ucap cowok itu ngawur. “Tapi ya gak usah galau gitu. Gala jadi ngerasa gak enak.”

Pria paruh baya itu tertawa kecil. “Dasar kamu ini.” Ia mennju pelan bahu Gala. “Ada-ada saja.”

Hening sejenak,

Gala tiba-tiba merasakan atmosfer di sekitarnya berubah jadi serius. Ia jadi merasa gugup sekali sekarang. Lidahnya kelu, seolah apa yang akan dikatakannya buyar begitu saja. “Pa,” Panggilnya.

“Hm?”

“Boleh Gala tanya sesuatu?”

Papa Dewa menoleh, “Sejak kapan kamu minta ijin kalau mau tanya?”

“Pa, Gala lagi serius.”

Pria paruh baya itu mengangguk takzim. “Ya sudah. Kamu mau tanya apa?”

“Pa,” Gala berusaha merangkai kata-kata, “Anu,”

“Anu apa?”

“Apa Gala punya saudara kembar?” Tanyanya cepat. Oke, ini kedengarannya konyol. Tapi tak ada salahnya juga kan kalau bertanya? Sebenarnya ia sudah curiga sejak lama kalau ia memiliki hubungan darah dengan Genta. Jika tidak, bagaimana bisa wajahnya bisa secara kebetulan sama atau bahkan persis dengan Genta.

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang