-28-

191 34 0
                                    

“Harusnya gak seperti ini, Gas.”

Gala memandang dari balik kaca pintu sebuah ruangan di rumah sakit, ke arah Bagas yang hingga saat ini masih belum sadar juga.

Jika boleh jujur, Gala marah. Ia kecewa pada Bagas. Karena ternyata selama ini orang yang menerornya tak lain ialah orang yang dekat dengannya. Tapi setelah mendengar alasan di baliknya, perlahan Gala mulai mengerti. Malahan, ia jadi merasa bersalah pada cowok itu.

Entah apa yang dikatakannya mengenai Papanya benar atau tidak, Gala tak tahu. Sebenarnya sudah berulang kali ia ingin bertanya, tapi ada saja yang menghalangi.

“Papa yang salah.”

Gala spontan menoleh, menghadap si pemilik suara itu. Pada jarak kurang dari lima meter darinya, ia melihat sorang pria paruh baya berpakaian kemeja hitam berjalan menghampirinya.

“Papa,” Panggil cowok itu.

Pria paruh baya itu menghela napas berat. “Apa pun yang diucapkan Bagas tentang Papa,” Tuturnya. “Itu benar.”

Kedua mata Gala membulat karena kaget. Ia tak menyangka ternyata sosok pria yang selalu menekannya untuk bekerja keras itu justru dengan tega merampas hasil kerja keras dari saudaranya sendiri, dan mengakuinya sebagai miliknya. Ia sama sekali tak bisa membayangkan kesulitan apa saja yang dialami Bagas selama ini. Pantas jika ia memiliki dendam di hatinya sekarang.

Tapi tunggu, Gala masih tak mengerti darimana Papanya itu mengetahui kalau Bagas sudah memberitahunya masa lalu keluarga mereka?

“Tapi Papa tau darimana?” Tanya cowok itu. hanya itu yang dapat keluar dari mulutnya. Karena kata-kata lain yang dipikirkannya hanyalah umpatan dan makian untuk pria yang ada bersamanya sekarang. Dan itu sama sekali tak pantas untuk diucapkan.

Papa Dewa menyodorkan beberapa lembar kertas pada Gala.

Gala mengenali kertas tersebut, itu adalah dokumen yang diberikan Bagas padanya di malam saat ia mengakui segalanya.

“Papa dapat ini dari kamar kamu. Jadi Papa pikir kamu pasti sudah tau semuanya.” Ucap pria paruh baya itu.

“Yang Papa lakuin itu jahat.” Gala mengngkapkan kekesalannya. “Gala gak tau lagi harus ngomong apa.”

“Kamu gak perlu ngomong. Papa gak akan maksa kamu buat maafin Papa.” Ucap pria paruh baya itu. “Papa kesini buat nunjukin sesuatu ke kamu.”

“Nunjukin apa?”

“Ayo ikut Papa.”

.

Papa Dewa mengajak Gala ke area pemakaman. Area ini sama seperti tempat Genta dimakamkan, hanya saja Papanya mengajak Gala pergi ke sisi lain area makam.

Pria paruh baya itu berhenti di dekat salah satu makam dengan batu nisan berwarna hitam, lalu berlutut di samping makam tersebut dan membersihkannya dari dedaunan kering dan rumput liar.

Gala tak bisa melihat nama yang ada di atas nisan tersebut, karena tertutup oleh dedaunan. Sampai ketika Papanya menyibak dedaunan tersebut, memperlihatkan ukiran yang tertera pada batu nisan tersebut.

“Pandu Dewananta.” Gala membaca ukiran nama pada nisan tersebut.

“Dia Om kamu.” Papa Dewa memberitahu. ”Papanya Bagas.”

Gala merasakan matanya memanas, ketika mengingat kembali apa yang dikatakan Bagas pada malam itu tentang Papanya. “Dia orang hidupnya udah Papa hancurin.” Ia menuding.

“Kamu bebas maki Papa, salahin Papa sepuas hati kamu. Memang Papa yang salah.” Pria paruh baya itu kini mengarahkan pandangnya pada nisan makan yang ada di depannya itu. “Usaha Papa dulu bangkrut dan kelilit hutang, Makanya ambil uang dari perusahaan Pandu. Papa kerja disana setelah bangkrut.”

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang