“Lo terlambat. Tempat selanjutnya yang harus lo datangi adalah kamar mayat.”
Moza merasa jantungnya behenti berdetak. Ia menggeleng pelan, rasanya sangat sulit diterima. Tidak. Ia tak bisa menerimanya. Ini pasti tidak benar.
Tapi bagaimana jika ini sungguhan?
Tidak. ia takkan siap jika harus kehilangan cowok itu, lagi.
Moza merasakan tubuhnya melemas, kakinya kini tak lagi mampu menopang berat tubuhnya. Ia jatuh terduduk. Air matanya sudah tak lagi terbendung.
“Za,”
Cewek itu mendongak ketika merasakan ada yang menyentuh kedua bahunya. Dari matanya yang mengembun, ia melihat Gino berlutut di hadapannya.
“Gino.” Tangis Moza seketika pecah. “Gala, No. Penerror itu-”
“Gala baik-baik aja.” Ucap Gino. “Maafin gue, Za.”
Moza menyusut hidungnya yang berair. Ia menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali guna menenangkan diri dan menentralkan tangisnya. Baru setelahnya, ia bertanya. “Maksud lo apa?”
Gino mengaktifkan layar ponselnya, lalu menekan beberapa nomor, melakukan panggilan.
Tak lama, ponsel yang dipegang Moza berdering, terdapat sebuah panggilan dari nomor tak dikenal.
“I-ni?”
Gino mengangguk. “Gue yang nelfon lo tadi. Gue juga yang ngasih surat itu ke lo tadi.” Jujurnya. “Gue tau yang gue lakuin salah. Lo berhak marah-”
Perkataan Gino terhenti karena tiba-tiba saja Moza menamparnya.
“Tentu gue marah. Lo bener-bener keterlaluan, No. Maksud lo apa? Permainin gue kayak gini.” Ucap cewek itu berapi-api. “Gue udah panik setengah mati tadi. Gue kira-” ia terdiam, tak sanggup meneruskan kalimatnya.
Gino tersenyum getir. “Lo baru dapet teror sekali aja paniknya udah kayak gini.” Ucapnya. “Trus gimana kabar Gala? Yang tiap hari dapet teror konyol kayak gitu.”
“Maksud lo?”
Gino merogoh saku dalam jasnya, mengambil beberapa lembar kertas yang sudah ia lipat rapi. “Gue ambil ini tanpa sepengetahuan Gala.” Ucapnya sambil menyodorkan kertas-kertas tersebut pada Moza.
Moza mengambil kertas-kertas tersebut dan melihat isinya.
“Itu surat teror yang diterima Gala.” Ucap Gino. “Isi suratnya cuma satu. Ancaman menyangkut nyawa lo.”
“Ini gila.” Hanya itu komentar yang bisa keluar dari mulut Gino ketika Gala menunjukan surat-surat terror yang selama ini didapatnya. Ancaman yang tertulis disana tidak main-main.
Gala menghela napas berat. “Sekarang lo paham kan kenapa gue ngelakuin semua ini?”
“Tapi tetep aja yang lo lakuin itu salah, Gal. Lo udah bohongi semua orang dengan ngaku sebagai Genta.” Ucap Gino. “Lo pikir dengan begitu, semua terror-terror itu akan berhenti? Enggak kan? Malahan lebih parah dari sebelumnya.”
Gala terdiam.
“Sekarang lo malah bikin semuanya kacau, Gal.” Gino menjambak kasar rambutnya. “Lo gak ngerti apa akibat dari tindakan lo. Lo gak peduli sama orang-orang di sekitar lo?”
Gala tersenyjm getir. “Gue siap nanggung resiko kalo seandainya seluruh dunia benci gue.”
Gino beranjak, kemudian mendekat ke arah Gala. “Dan Moza?” Tanyanya. “Lo udah lakuin hal yang besar buat dia, sekaligus buat dia ngerasain sakit yang besar juga. Lo udah mainin perasaannya dia.”
“Kenapa sekarang lo jadi peduli banget sama dia?”
Gino berdecak. “Gal, gue serius.” Ucapnya. “Dan asal lo tau, gue gak ada perasaan apa-apa ke Moza. Lo ta sendiri kan hati gue buat siapa?”
Gala terkekeh mendengar itu, “Iya. Gue tau.”
“Lo masih belum jawab pertanyaan gue.”
“Gue selalu siap naggung resiko dibenci buat ngelindungi orang yang gue sayang.” Gala menatap lurus dengan tatapan menerawang, kemudian menoleh pada Gino. “Moza benci gue, itu hak dia. Tapi itu sama sekali gak mengurangi rasa tanggungjawab gue untuk selalu ada di saat dia butuh dan ngelindungi dia,”
Gino tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Gala. Ia dapat melihat dengan jelas ketulusan cowok itu. “Kapan-kapan lo harus lihatin dia. Dia kacau banget belakangan ini.”
Gala mengangkat salah satu sudut bibirnya, membentuk senyum getir. “Sampein salam gue ke dia. Maaf kalo selama ini gue cuma bisa bikin dia nangis.” Ucapnya. “Gue bahkan gak tau, apa setelah ini dia masih mau ngelihat muka gue atau enggak.”
Moza terdiam. Ia menatap surat-surat itu dengan mata berlinangan. Tak sanggup membayangkan seperti apa kacaunya Gala ketika mendapatkannya.
“Gue gak perlu kasih tau lo siapa yang ngirim itu, karena lo sendiri pasti udah tau.” Ucap cowok itu.
“Kak Arga?” Terka Moza.
Gino mengangguk pelan, “Sekarang gue mau tanya ke lo. Menurut lo, apa yang harus Gala lakuin waktu itu? Nurut, atau biarin lo dalam bahaya?” Tanya Gino. “Lo juga akan ngelakuin hal yang sama kan seandainya lo ada di posisinya dia?”
Mata cewek itu kembali memanas. Ia merasa telah menjadi orang paling jahat di dunia. Bagaimana bisa ia berpikir sepicik itu pada orang yang bahkan rela mengorbankan hidup untuknya? Apa kesalahpahaman telah merenggut nuraninya saat ini, hingga membuat matanya tertutup rapat.
Gino menghembuskan napas dari mulutnya. “Gue ngelakuin ini cuma buat ngejelasin apa yang sebenarnya terjadi sama Gala selama ini. Gue gak tau apa yang dia pikir atau rasain, tapi siapa juga sih yang mau ambil resiko dengan pertaruhin orang yang dia sayang? Jujur, kalo gue ada di posisinya Gala, gue pasti akan ngelakuin hal yang sama. Dan gue rasa lo juga akan gitu.”
Cewek itu terdiam, lidahnya mendadak kelu.
“Gue cuma mau ngelurusin kesalahpahaman kalian. Urusan lo mau gimana sama Gala setelah ini, itu terserah lo.” Ucap cowok itu sembari beranjak, melangkah menjauh.
TBC
Semakin mendekati ending yuhuuuu
Kira-kira bakal kayak gimana ya ending-nya??
Penasaran??
Ikuti terus kelanjutannya
.
Semoga kalian suka chapter ini
Terimakasih sudah membaca
Jangan lupa vote dan ramein kolom
Luv you
Sampai jumpa di chapter selanjutnya 🤗🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
DELICATE
Novela JuvenilSEKUEL MANGGALA Ketika semesta kembali memainkan permainannya, menghadapkan pada dua pilihan berat. Menyerah, atau bertahan dan membiarkan semuanya berantakan. ... Bermula dari tantangan konyol demi sebuah tiket liburan, Gala dan Moza tak menyangka...