Gala membuka kasar mobilnya. Napasnya menderu. Dengan tangan mengepal kuat, ia melangkahkan kakinya kasar menuju bangunan tua itu.
Cukup sudah. Ini sudah tak bisa diterima. Jika teror ini hanya tentang dirinya, mungkin ia akan terima, tapi kalau sudah menyangkut orang yang ia sayang, Gala tak akan tinggal diam.
Jujur saja, alasan Gala menggunakan identitas Gala bukan hanya karena ia merasa berhutang nyawa dan tak berhak atas hidupnya saat ini, melainkan agar teror-teror yang menghantuinya berhenti. Tadinya, Gala pikir hal itu akan terjadi. namun yang terjadi malah sebaliknya, bukannya berhenti, toror itu malah semakin parah. Bahkan sekarang, sudah mengancam keselamatan orang yang ia sayang.
Sepertinya si peneror-entah siapa itu-takkan berhenti sampai semua orang dihabisi.
Gala mengatur pola napasnya, berusaha mengendalikan amarahnya yang sudah meluap. Kini ia sudah berdiri di depan pintu utama di gudang itu dan membukanya.
Terdengar suara berderit dari pintu tua yang dibuka.
Cowok itu kemudian melangkah masuk, menuju ruang utama bangunan tersebut. Sesuai dengan yang tertera dalam surat teror itu. Tak ada hal lain yang ia pikirkan selain bagaimana cara menyelesaikan semuanya.
Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba lampu di bangunan itu padam, menebar kegelapan sejauh mata memandang.
Gala merogoh ponsel dari saku celananya, lalu menyalakan senter. Cowok itu mempercepat langkahnya menuju ruang utama bangunan tersebut.
Dalam cahaya redup itu, Gala mendapati seseorang berpakaian serba hitam berdiri membelakanginya sambil memegang sebuah kotak.
Gala mendekat ke arah cowok itu.
"Sesuai janji. Gue dateng sendiri."
Orang itu berbalik, kemudian mendekat.
"Bagus."
Gala hendak mengarahkan blitz kameranya. Namun belum sempat ia melihat, orang itu sudah menyambar ponsel Gala dan melemparnya ke sudut ruangan.
“Lo akan tau siapa gue, kalo lampunya udah nyala.”
Gala mengatur napasnya yang sudah menderu. “Ya udah.”
“Gue tau, lo pasti marah banget sekarang.” Ucap orang itu sambil memutari Gala.
Gala menoleh cepat, mengikuti arah suara orang itu. “Siapa lo sebenarnya?”
Terdengar suara kekehan orang itu. “Nanti juga lo tau.”
“Jangan bikin kesabaran gue habis.” Ucap Gala dengan mengeratkan rahang.
“Tunggu.”
Kedua tangan Gala sudah mengepal kuat. Ia tak bisa menjamin keselamatan orang itu jika sekali lagi ia bersuara.
“Sekarang lo bisa bebas lampiasin kemarahan lo.”
Seketika lampu menyala, memperlihatkannya sosok peneror itu.
“Brengsek! Jadi selama ini lo pelakunya?!” Gala yang sudah kehilangan kesabaran langsung menghujam orang itu dengan pukulan-pukulannya. Tak terbayangkan bagaimana perasaannya sekarang ketika mengetahi orang yang selama ini ia anggap sebagai saudara, justru yang menjadi dalang dari semuanya.
Cowok itu hanya diam, ia menerima semua pukulan yang diarahkan Gala padanya tanpa membalas.
“Gue gak nyangka lo bisa setega ini, Gas.” Pukulan Gala melambat. Kini cowok itu terdiam dengan mata yang menyorot tajam. Amarahnya meluap-luap, tapi masih ia tahan.
“Kenapa berhenti? Ayo terusin!” Bagas balas menatap cowok yang kini berada di hadapannya. “Terusin, Ta. Gue bisa anggap itu dari Gala.”
Ekspresi Gala melunak, kemarahannya sedikit mereda sekarang. Ia melihat sesuatu di mata Bagas, ada penyesalan yang mendalam dan itu tergambar jelas di matanya. “Kenapa lo lakuin ini?” Tanyanya, dengan suara yang sedikit memelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELICATE
Teen FictionSEKUEL MANGGALA Ketika semesta kembali memainkan permainannya, menghadapkan pada dua pilihan berat. Menyerah, atau bertahan dan membiarkan semuanya berantakan. ... Bermula dari tantangan konyol demi sebuah tiket liburan, Gala dan Moza tak menyangka...