-13-

264 36 0
                                    

Gala melangkah masuk ke dalam rumah. Senang rasanya bisa kembali ke rumah ini lagi. Meski hanya tiga hari, namun ia sudah merasa rindu dengan suasana disini, terutama kasurnya. Kasur memang selalu jadi hal yang paling dirindukan dari rumah, itu sudah jadi rahasia umum. Itu juga sekaligus membuktikan pernyataan bahwa seperti apa pun tempat di luaran sana, tidak ada yang bisa menyamai rumah.

Sebenarnya Gala senang berada di tempat Genta. Ia senang bermain dengan anak-anak yang ada disana. Terdengar aneh, padahal tidak biasa-biasanya cowok itu betah berlama-lama bersama anak-anak. Tapi sungguh, ia merasa nyaman saat berkumpul bersama anak-anak itu, atau yang sering disebut Genta sebagai adik-adik asuhnya.

Di ruang tamu, Gala mendapati Papanya tengah sibuk dengan berlembar-lembar dokumen yang hampir menutupi seluruh meja. Atau lebih tepatnya, pria itu kebingungan.

“Papa perlu bantuan?” Tanya Gala.

Papa Dewa mendongak, kemudian memberi isyarat agar Gala mendekat, duduk di sampingnya.

Cowok itu pun mendekat.

“Papa lagi siapin berkas-berkas buat meeting nanti sore.” Papa Dewa menjelaskan. Matanya masih sibuk memindai lembar-lembar dokumen.  “Sebenarnya ini tugas sekertaris Papa. Tapi dia kan sedang cuti melahirkan, jadi ya sudahlah, Papa yang urus sendiri.”

Gala mengangguk takzim. Pantas saja Papanya kelimpungan sekarang.

Sebelum ini, Gala hampir tak pernah melihat Papanya membawa pekerjaannya ke rumah. Semua urusan pekerjaan, rapat, laporan, file-file penting, dan sebagainya diselesaikan di kantor. Itulah mengapa Papanya sering pulang larut, atau bahkan baru pulang keesokan malamnya.

“Papa kelihatannya sibuk banget.” Celetuk Gala.

“Ya, begitulah.” Jawab Papanya. “Tolong ambilkan map yang disana.” Pria itu menunjuk sisi lain meja. “Yang warnanya merah.”

“Yang ini?” Gala menyodorkan map yang barusan diambilnya.

Papa Dewa langsung mengambil map tersebut dari tangan Gala kemudian membaca isinya. “Kamu harus mulai belajar bagaimana caranya mengelola peruasahaan.” Tutur pria itu. “Biar bagaimana pun, perusahaan ini akan jadi milikmu.”

“Papa ngomongnya kejauhan deh. Itu kan urusan nanti. Gala aja SMA belum lulus.”

Pria paruh baya itu tertawa kecil mendengar tanggapan Gala. “Dasar anak jaman sekarang. Sukanya menunda-nunda pekerjaan.” Ujarnya. “Kamu dengar ya, sukses itu gak bisa didapat secara instan, semuanya butuh proses, butuh kerja keras, butuh waktu. Semakin cepat kamu belajar, semaikin cepat kamu bisa. Nanti kamu pasti bisa jadi pengusaha yang lebih baik dari Papa, Papa yakin itu.”

Gala tersenyum, senyum yang dipaksakan. Lagi-lagi urusan perusahaan. Sepertinya Papanya itu tidak akan berhenti sampai Gala benar-benar masuk dan bekerja di perusahaan Papanya.

“Papa jadi ingat, waktu pertama kali Papa merintis usaha.” Papa Dewa menatap dengan tatapan menerawang, meraba-raba ingatannya. “Dulu Papa masih seusia Kakakmu ketika masuk dunia kerja. Dengan susah payah Papa merintis perusahaan ini dari nol, jatuh bangun, sampai akhirnya menjadi sebesar sekarang. Persis seperti yang Papa mimpikan.”

“Gala gak bayangin sesusah apa itu.” Ucap Gala. “Pasti tatangannya besar banget.”

“Itu harga yang harus dibayar buat mimpi besar.” Jawab pria itu. “Mimpi itu gratis. Semua orang bisa bermimpi. Tapi buat mewujudkannya? Itu mahal harganya.” Ia merapikan berkas-berkas yang ada di meja, kemudian beranjak dari tempat duduk. “Papa ke kamar dulu.”

“Pa.” Panggil Gala.

Pria itu berbalik. “Ada apa?”

Sebenarnya Gala ingin sekali membicarakan soal Genta, cowok yang mirip sekali dengannya. Namun ia kebingungan, tak mengerti bagaimana harus mengatakannya.

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang