Moza terdiam cukup lama memandang sisi depan rumah itu. Kali ini, ia merasakan sambaran petir mencabiknya, menghancurkan setiap harapan yang ia punya. Setelah lebih dari tujuh hari mencari, tak pernah ia bayangkan akan menemukannya seperti ini.
"Gak. Ini gak bener. Gak mungkin." Cewek itu menggeleng kuat, menolak untuk percaya. Ia benar-benar tak siap menghadapi kenyataan ini.
Perlahan, ia melangkahkan kakinya masuk, melewati beberapa orang yang duduk melingkar dengan pakaian serba hitam.
Mulanya, Moza menolak untuk percaya. Sampai akhirnya Milly menyingkap kain putih yang menutupi wajah orang itu. Memperlihatkannya hal yang paling tidak ingin ia lihat.
"Gak." Moza menggeleng kuat, air matanya tak terbendung. Ia berlari dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, kemudian terduduk tepat di samping cowok itu. Tubuhnya sudah berguncang hebat.
"Jahat." Lirih Moza.
"Gala, lo jahat."Suara cewek itu meninggi.
"Gala, lo jahat! Gak punya hati! Tega-teganya lo ngelakuin ini!"
Moza meraung sambil terus mengguncang tubuh kaku cowok yang ia teriaki namanya. "Please, bangun. Jangan pergi. Gue butuh lo disini." Raungan cewek itu melemah, digantikan dengan isakan tanpa henti. "Please. Bangun." Kini kepalanya terbenam dan tangannya melingkar, memeluk tubuh yang sudah terbujur kaku itu. Air matanya terus mengalir.
Ia sungguh berharap keajaiban terjadi sekarang. Ia sungguh berharap cowok itu akan membuka mata dan memeluknya. Namun hal itu sudah tak mungkin lagi, semuanya sudah terlambat.
“Kenapa lo harus pergi secepat ini? gue gak siap kehilangan lo.” Lirih cewek itu.
Sebuah tangan terulur, menangkup pada kedua sisi pundak cewek itu, membuatnya bebalik.
"Ikhlasin, Za." Ucap orang itu.
Moza menatap cowok itu dengan mata berlinangan. "No, tolong bilang ke gue. Ini gak nyata.Ini cuma mimpi."
Gino menundukkan kepalanya, tidak menjawab.
"Gino, jawab! Ini gak nyata kan?" Tuntut cewek itu, sambil mencengkram lengan baju Gino.
"Gala udah gak ada, Za."Ucap Milly dari belakang. "Dia udah pergi."Cengkraman tengan Moza mendadak lemah. Cewek itu semakin terisak. Tubuhnya berguncang hebat, hingga ia tak sanggup lagi menegakkan punggungnya.
Gino mengulurkan tangannya, membawa cewek itu dalam dekapan. Sambil sesekali mengusap punggungnya. "Jangan nangis. Gala gak akan suka lihat lo kayak gini."
"Gak, No. Ini gak bener." Ucap Moza dengan suara bergetar. "Gala gak mungkin pergi secepat ini."
"Hey," Gino mengendurkan pelukannya, kemudian menangkupkan kedua tangannya pada wajah Moza. "Ikhlasin, Za. Hapus air mata lo. Jangan bikin Gala makin sedih disana."
Cewek itu mengangguk, kemudian mengendalikan isakannya. "Mungkin lo bener. Gue udah-"
Perkataan cewek itu terhenti ketika sepasang matanya menangkap keberadaan seseorang dari dalam subuah kamar."Gala." Lirihnya.
Arah pandang cewek itu terkunci pada seseorang di balik pintu kamar yang terbuka setengah. Seakan melihat secerca harapan dalam mimpi buruknya. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan berjalan menuju ruangan itu.
"Za, lo mau kemana?"
"Za,"
Moza tak menggubris Gino yang terus memanggilnya. Ia tetap meneruskan langkahnya.
.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia meraih gagang pintu yang semula setengah terbuka itu dan membukanya. Ia dengan cepat mengusap pipi dan menyusut hidungnya, berusaha menghentikan tangis.
Perlahan, cewek itu melangkah masuk, menghampiri seseorang yang kini tampak berdiri memunggunginya.
"Berhenti di situ."
Langkah Moza terhenti tepat satu meter di depan cowok itu. “Gala,”
Cowok itu mengeram sambil memegang kepalanya. "Diam!" Bentaknya.
Moza mematung, berusaha menetralkan laju jantungnya karena terkejut. Wajahnya memucat, namun tak lama kembali normal. Ia kembali melangkahkan kakinya.
Cowok itu berbalik, memperlihatkan wajahnya. Dari sorot matanya, ia tampak tersiksa. "Please." Mohonnya. "Jangan." Suaranya memelan sekarang. “Gue bukan Gala.”
Tapi Moza tak menggubris, ia tetap meneruskan langkahnya.
“Lo pasti bercanda kan?” Moza terkekeh pelan, menyamarkan suaranya yang bergetar. “Bercanda lo gak lucu.”
Cowok itu menjambak rambutnya frustasi. “Za, tolong-”
"Dia bukan Gala, Za. Tapi Genta."
Spontan cewek itu menoleh ke arah sumber suara.
Dari ambang pintu, tampak Bagas berjalan mendekat. “Cowok yang berdiri di hadapan lo sekarang bukan Gala, tapi Genta, kembarannya Gala.”
Moza menggeleng kuat, kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada cowok itu. "Gal, tolong jelasin ke gue. Yang dibilang Bagas itu gak bener kan?" Tanya cewek itu, matanya kembali memanas. "Ini bener Gala kan? Lo masih hidup."
Cowok itu menarik napas panjang, mengendalikan gejolak perasaannya. Baru kemudian melangkah, mendekat ke arah Moza.
Perlahan, ia meraih tangan Moza, kemudian menempelkan tangan tersebut di dada sebelah kirinya.
"Ini jantungnya Gala."
TBC
Part-nya kali ini singkat, tapi bikin hati author 💔 pas bikinnya
Nyesek atuhh
Kalian juga gitu gk?
.
Oke, Krn chapter ini singkat,
Jadi,
Sebagai gantinya.....
Double update.....
......
Semoga kalian suka chapter ini
Terimakasih sudah membaca
Ikuti terus kelanjutannya yaa
Jangan lupa tinggalkan jejak
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
DELICATE
أدب المراهقينSEKUEL MANGGALA Ketika semesta kembali memainkan permainannya, menghadapkan pada dua pilihan berat. Menyerah, atau bertahan dan membiarkan semuanya berantakan. ... Bermula dari tantangan konyol demi sebuah tiket liburan, Gala dan Moza tak menyangka...