-20-

241 40 7
                                    

Ok gue bego. Gue akuin itu. Tapi salah satu dari kita harus hidup kan?

Dan lo yang lebih layak buat itu. Lo punya banyak orang yang sayang sama lo dan butuhin lo.

So i did it. Sorry.

Tolong jaga keluarga dan orang yang gue sayang buat gue. Sekarang hidup gue, hidup lo juga.

Thanks buat semuanya.

Gue gak pernah nyesel pernah kenal sama lo.

Cowok itu melipat kembali surat itu pada bekas lipatannya. Matanya kembali memanas. "Dasar bego. Lo bikin orang tua lo kehilangan buat kedua kalinya."

Ceklek..

"Boleh gue masuk?"

Genta menyeka ujung matanya. Kemudian memandang Milly dengan senyum yang dipaksakan.

"Masuk aja, Kak."

Milly melangkah masuk, kemudian duduk di samping cowok itu.

"Gimana kabar lo?"

Cowok itu menoleh. "Baik." Jawabnya singkat.

Milly mengedarkan pandang ke sekitar. "Rasanya aneh masuk lagi ke kamar ini." Ucapnya. "Dulu gue sering banget main disini sama Gala. Kita sering ngelakuin hal konyol, kejar-kejaran lah, debat, sampe teriak-teriak gak jelas kayak anak TK." Lanjutnya, dibarengi dengan kekehan pelan.

Genta termenung mendengar penjelasan Milly.

"Tapi sekarang semuanya udah beda." Milly menyusut hidungnya yang berair. “Gue gak pernah ngira kalo pelukan yang Gala kasih ke gue di bandara sebelum gue berangkat itu pelukan terakhirnya.” Ia mengenang.”

Cowok itu terdiam, tak menjawab.

Milly menghela napas berat. "Gue bahkan gak tau harus seneng apa sedih sekarang. Satu adik gue kembali, dan yang lain pergi jauh. Gue gak ngerti, gue harus sedih buat Gala, atau seneng buat lo."

Genta menatap mata cewek itu lekat. "Gak ada hal yang lebih menyakitkan selain kehilangan orang yang kita sayang." Ucapnya. “Dan itu sama sekali hal yang bisa ditutupi.”

"Gue belum siap kehilangan dia." Milly menyandarkan kepalanya pada pundak cowok itu. "Semuanya terlalu tiba-tiba."

Tangan Genta terulur, melingkar di tubuh cewek itu. "Jangan nangis, Kak. Gala gak akan suka lihat itu."

Mendengar itu, Milly semakin terisak. "Gue kangen sama Gala."

Cowok itu memejamkan matanya kuat-kuat. Rasanya menyakitkan sekali melihat Kakaknya sampai sekacau itu. "Kak Milly boleh cari gue kapanpun Kakak kangen sama Gala. Gue akan selalu ada buat Kakak."

"Maaf."

"Buat apa?"

"Harusnya lo marah. Lo pantes dapet yang lebih dari ini." Ucap cewek itu. "Delapan belas tahun lebih lo jauh dari keluarga. Dan sekarang, setelah lo kembali....." Ia berusaha mengendalikan isakannya. "Sikap kita malah-"

"Sstt...."

Genta menempelkan jari telunjuknya pada bibir Milly. “Jangan bilang gitu.”

“Maaf,”

---

-<>-

Cowok itu diam tak bergerak. Ia membiarkan cewek itu memeluk erat tubuhnya.

“Dulu Gala pernah janji. Gue akan selalu pundak untuk bersandar.” Ucapnya."Gue boleh cari dia, kapanpun, ketika gue sedih."

Tangan cowok itu terangkat, mengambang cukup lama di udara. Ragu untuk sekedar memberikan usapan lembut pada punggung cewek itu, namun akhirnya urung ia lakukan.

"Tolong jangan dilepas." Ucap Moza memohon. "Rasanya damai banget ngerasain irama jantungnya."

Perlahan, cowok itu menurunkan tangannya, membalas pelukan Moza.

Cukup lama Moza tenggelam dalam dada bidang cowok itu, menumpahkan air matanya disana.

"Udah tenang?"   

Cewek itu mengangguk, kemudian mengendurkan pelukannya. "Makasih."

"Sama-sama."

"Siapa yang datang, Ta?"

Suara Lisa membuat kedua orang itu menoleh. Seseorang muncul dari dalam rumah.

“Ada tamu ya?” Lisa berjalan meraba-rabakan tongkatnya, menuju cowok itu.

“Ini ada Moza.”

“Teman kamu?”

“Iya.”

“Hai.” Sapa Moza.

Lisa menghadapkan tubuhnya ke arah suara, “Hai, aku Lisa.” Ucap cewek itu sambil mengulurkan tangan kanannya.

Moza meraih tangan tersebut, “Moza.” Kenalnya.

“Oh iya, Ta. Kamu dicariin tuh sama Akbar.”

“Yaudah. Ayo.” Genta meraih tangan Lisa.

“Apaan sih? Pegang-pegang.”

“Biar kamu gak perlu pake tongkat lagi jalannya.” Ucap cowok itu, mengambil tongkat milik cewek itu. “Aku yang akan tuntun kamu.”

“Dasar gombal.”

Cowok itu menoleh ke arah Moza. “Lo gak ikutan masuk?”

“Gak usah. Gue langsung pulang aja.” Tolak Moza. “Ngomong-ngomong, makasih ya, lo udah bersedia nyempetin waktu buat temenin gue.”

Cowok itu mengangguk, kemudian masuk bersama cewek yang digandengnya.

Moza menatap dengan sorot sedih. "Dia bukan Gala, Za. Dia orang lain. Tapi kenapa rasanya sakit banget ketika lihat dia sama cewek lain." Batinnya.

-<>-


"Hei.”

Genta menepuk pelan pundak bocah yang tengah duduk di atas sebuah batu besar, kemudin berjalan melewati dan berhenti di hadapannya. “Tadi katanya Lisa, kamu nyariin Abang.” Ucapnya.

Akbar mendongak sebentar, mengangguk pelan, kemudian kembari menundukkan kepalanya. Kedua tangannya sibuk menyobek-nyobek rumput yang batusan dicabutnya. Akbar sering melakukan itu ketika pikirannya sedang kalut. Wajah bocah itu tampak murung.

“Kamu kenapa?” Genta mendekat, kemudian merendahkan tubuhnya agak sejajar dengan bocah itu. matanya menatap penuh tanya.

Akbar mencebikkan bibirnya. “Akbar gak bisa terus-terusan gini.” Ucapnya. “Ini gak bener.”

Cowok itu menghela napas berat, ia tahu kemana arah pembicaraan bocsh itu. “Akbar udah janji kan sama Abang gak akan bahas-bahas itu lagi?”

“Iya, Akbar tau. Tapi Akbar gak bisa terus-terusan kayak gini.” Jujur bocah itu. “Akbar gak bisa terus-terus bohong ke semua orang. Abang bukan Bang Genta.”

TBC

Yuk yuk yuk ......yang kepo sama lanjutannya,

Mau di-update kapan nih chapter lanjutannya??

.

Semoga kalian suka chapter ini

Terimakasih sudah membaca

Jangan lupa vote dan ramein kolom komentar

See you 🤗🤗

DELICATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang