PROLOG

12.1K 716 111
                                    

23 Januari 2021

HARTA, TAHTA, ALEA.

Tiga kata yang sering diucapkan Alea, kakak sepupuku sebagai salah satu wujud kepercayaan dirinya, dan aku sangat setuju. Ibarat tujuan hidup hanya tiga hal, pasti aku akan menempatkan Alea di salah satunya. Membuat dia bahagia adalah salah satu doaku.

Alea gadis periang, ceplas ceplos, asyik, tapi takut gelap dan paling tidak suka dicuekin. Mungkin karena dia anak bungsu jadi jiwa manjanya sangat kental. Tapi dibalik sifat manjanya, dia punya rasa peduli yang tinggi, pada intinya Kakak Alea tidak akan tega membiarkan orang terdekatnya susah.

Soal fisik nggak usah aku ceritakan, katanya nggak boleh bawa-bawa fisik! Percaya saja sama aku kalau Alea itu... Ah sudahlah..

"Rey!"

Aku memutar badan dan mendapati Bang Ilyas berdiri di ambang pintu dengan sepiring makanan di tangannya.

"Dicariin papamu noh! Suruh makan!"

"Nggak laper!"

Bang Ilyas tertawa sekilas lalu duduk di sampingku. Sengaja sekali mengibaskan aroma tengkleng kambing ke arahku. Dan dengan tidak manusiawi nya dia menikmati tulang demi tulang kambing itu sambil terus membuatku tergoda.

Kalau saja sedang tidak malas aku pasti sudah duduk anteng di depan baskom besar berisi tengkleng kambing, menu yang wajib ada di setiap acara keluarga seperti ini. hampir semua anggota keluarga di sini suka dengan makanan itu dan suka lupa diri kalau sudah mulai menikmatinya, kecuali papa yang harus rela berhenti di piring pertama karena dokter pribadinya galak banget kalau sudah mengenai pola makan papa.

"Sana buruan ambil, ini makanan hitungan menit udah habis loh!"

Bang Ilyas semakin terbahak ketika aku tetap kekeh tidak mau makan. Sebenarnya bukan tidak ingin makan, tapi yang benar tidak ingin masuk, di dalam panas.

"Masyaallah, ini tengklengnya kok enak banget nggak kayak biasanya!" ujar Bang Ilyas semakin menggodaku. aku meneguk saliva, memang dari bentuk dan aromanya kelihatan kalau tengkleng itu sangat enak.

Aku kuatkan iman untuk tidak tergoda untuk masuk ke rumah simbah, dalam hati berharap juga Arsha yang pengertian itu tiba-tiba keluar membawakanku sepiring tengkleng. Tapi adikku itu punya dua aura berbeda, aura terang dan gelap. Dan saat ini auranya sedang gelap, aura pembullynya sedang dominan. mana mau dia berbaik hati padaku.

Dan tiba-tiba listrik padam, terdengar beberapa teriakan dari arah pondok putri tapi ada satu teriakan yang membuat aku langsung lari tanpa pikir panjang.

"REEEEYYYY!"

Aku segera berlari mendekati sumber suara itu, tidak peduli keadaan gelap yang membuat kakiku sedikit luka karena menginjak sesuatu yang runcing.

"Ini Kak, pegang hpku dulu! Biar aku cari lilin!" ucapku pada Alea yang sudah teramat ketakutan karena gelap, nasib buruk dia tadi sedang di dapur sendirian karena ambil minum.

Dengan sedikit ragu, Alea menerima hpku, "Makasih, Rey!"

Aku bergumam lalu segera keluar dengan sedikit meraba-raba, untung saja beberapa orang sudah menyalakan senter hpnya. Aku mengurungkan niat mencari lilin dan beralih mendekati kang  pondok yang sedang berusaha menghidupkan genset.

Sepuluh menit kemudian listrik menyala dengan tenaga genset, lingkungan pesantren kembali terang. Aku sedikit terseok dan ternyata tumitku sedikit berdarah.

"Nginjak apa tadi, Rey?" Bang Ilyas ikut meringis melihat aku membersihkan luka.

"Nggak tahu, Bang! Nggak lihat tadi!"

Aku memencet bekas luka di bawah guyuran air kran agar lukanya bersih dan tidak infeksi, walaupun tidak besar tapi darah terus mengucur dari kakiku.

"Perlu disabun nggak biar bersih?"

"Perlu, bawain sikat sekalian!"

Maka tak perlu disuruh lagi, Bang Ilyas lagi-lagi tertawa, "Duh betapa malangnya nasibmu, Nak! Sudah sakit, terluka pula!"

Adik tuaku itu lari sambil terbahak kala aku dengan sengaja menyiramnya dengan air, heran sekali dengan keluargaku ini! Tapi kalau disuruh pindah KK nggak mau juga sih, sampai detik ini mereka yang terbaik. Kadang-kadang.

"Ini hp kamu, terimakasih!"

Dengan gerakan kepala aku menjawab agar lelaki di depanku ini meletakkan hp di sampingku karena aku masih sibuk mengeringkan luka.

"lain kali tidak perlu sampai mengorbankan diri hanya untuk menolong Alea!"

Aku berdiri dan mensejajarkan diri dengan pria yang tingginya sama denganku, mata kita saling bertatap mengisyaratkan tidak adanya keakraban di dalamnya.

"Bisa didengar sendiri, nama siapa yang dia teriakkan di saat dia membutuhkan!!"

Lelaki itu semakin tajam menatapku, jelas sekali terpancar rasa tidak suka padaku.

"Dia istriku, Rey!" ucapnya dengan nada rendah dan tegas.

Aku tersenyum masam sekilas lalu menyambar hp dan bermaksud segera meninggalkannya sebelum dilihat keluarga. Sebelum benar-benar meninggalkannya, aku sempatkan membisikkan dua kata yang semakin mengikis keakraban diantara kami.

"bojomu, semangatku!!"

8. Real yang tak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang