Tengah malam Alea belum juga bisa tidur, dia benar-benar kepikiran dengan Luham yang marah padanya. Memang lelaki itu tidak berbicara keras ataupun membentaknya, tapi lewat ekspresi dan sorot mata Alea sudah paham bahwa Luham marah.
Dengan perlahan Alea melewati ruang tamu dan membuka pintu utama dengan sangat pelan juga, dia menajamkan matanya agar bisa melihat komplek putra yang meskipun agak jauh tapi tetap bisa lihat karena letaknya yang lurus dengan rumah mertuanya. Tidak jelas siapa saja yang ada di sana tapi Alea bisa mendengar ada suara Luham.
"Nduk!"
Alea berjingkat karena dipanggil oleh abah mertuanya.
"Dalem, Bah!"
Abahnya ikut memperhatikan arah pondok putra. "Luham masih di sana?"
Alea mengangguk pelan lalu pamit untuk masuk kembali ke kamarnya setelah ngobrol sebentar dengan ayah mertuanya. Sampai kamar pun dia masih belum bisa memejamkan matanya, kalau biasa susah tidur dia akan main game atau menjelajahi dunia maya, tapi kali ini dia nggak punya hp.
Mendengar bunyi pintu dibuka Alea Langsung memejamkan matanya dan pura-pura tertidur. Beberapa saat kemudian dia bisa merasakan bahwa Luham naik ke kasur, ingin sekali dia buka mata melihat apa yang Luham lakukan tapi gengsi.
Dan setelah dirasa tidak ada pergerakan lagi, Alea membuka sebelah matanya untuk mengintip. Dia mendapati Luham yang tertidur di sampingnya.
Sekarang dia bingung harus gimana, tetap di sini atau pindah ke kasur bawah, karena ini pertama kalinya dia dan Luham tidur dalam satu kasur. Sebenarnya dia heran juga kenapa tiba-tiba Luham tidur di sampingnya. Setelah memutar otak tujuh kali akhirnya Alea beringsut turun untuk tidur di kasur bawah.
"Di sini aja!" Luham menahan tangan Alea membuat gadis itu kembali dilanda rasa cemas membayangkan yang tidak-tidak.
Luham membuka matanya lalu kembali duduk dan bersandar di tempat tidur. "Sini, Alea!" titahnya sambil menepuk ruang kosong di sampingnya. Dengan sedikit ragu Alea kembali duduk di samping Luham.
Sekian detik Luham hanya terus menatap Alea, lalu berkata lembut, "Sekarang dengar aku baik-baik!" Luham menarik nafasnya, merasa sekarang waktunya mengambil sikap tegas untuk menentukan masa depan mereka, empat bulan cukup baginya memahami sifat Alea dan juga menata hatinya sendiri.
"Aku mau kasih kamu pilihan,"
"Apa Mas?"
"lanjut atau enggak?"
"apanya Mas?"
Luham menyentuh tangan Alea. Tatapan matanya kali ini sulit terbaca oleh Alea, akhirnya gadis itu memilih menunggu Luham menjawab.
"Pernikahan kita," jawab Luham dengan berat hati.
Kini Alea tidak tahu harus menjawab apa, akhirnya dia hanya bisa menunduk dan mereka saling diam untuk waktu yang lama, sampai Luham kembali memecah kesunyian itu. "Karena kamu diam, biar aku yang memilih. Tapi karena aku yang memilih kamu harus mengikuti semua ucapanku!"
Bertambah kebimbangan Alea, dia memejamkan mata sejenak. Kemarin dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk membahagiakan orangtuanya dengan terus patuh, dan salah satunya adalah dengan menjadi istri yang baik untuk Luham. Tapi kali ini dia bingung kenapa Luham bertanya, apakah lelaki itu sudah tidak menginginkan pernikahan ini?
"Alea,"
Gadis itu mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap Luham.
"Pilihanku cuma satu yaitu tidak ingin memberi kamu pilihan lagi," Luham kini menggenggam kedua tangan Alea. "Kamu istriku, bukan hanya di depan abi aku berjanji, tapi dengan Allah juga aku berjanji bertanggung jawab atas diri kamu. Aku tidak akan memberi kamu pilihan, karena aku mau kamu tetap jadi istriku." lanjutnya membuat Alea semakin tidak bisa menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
8. Real yang tak Nyata
RandomTidak Semua yang kita harapkan bisa terwujud, dan tidak semua yang kita tolak bisa menjauh. Hidup tidak semudah apa yang kita mau.