Alea Salsabila Mubarak
Dulu aku pernah buta dan tuli karena rasa yang aku anggap cinta dan akibatnya aku tidak mau melihat dan mendengar nasehat-nasehat dari orangtua, aku mengabaikan mereka karena aku pikir pilihanku sudah yang terbaik.
Aku pernah merasa sangat kesal dan tertekan tapi tak pernah berani mengungkapkan, aku takut kata-kata yang keluar dari mulutku saat marah malah akan jadi bomerang untuk diriku sendiri. Aku takut kata-kataku akan menyakiti hati kedua orangtuaku, maka aku lebih memilih untuk diam menahan sendiri, dan jika aku butuh bicara sudah pasti aku memilih Reyshaka. Salah sih memang, tapi waktu itu aku benar-benar sedang kalut, buta mata dan hati. Hanya Rey yang terpikir kan.
Batinku pernah juga sangat marah pada abi, beliau sosok yang selama ini aku banggakan. Beliau yang selalu mementingkan kebahagiaan anak-anaknya, kakak-kakakku tidak pernah ada yang sampai diatur perihal jodohnya sama abi, sedangkan aku? Aku sudah menolak sekuat hati tapi abi tetap menikahkan aku. Baru sekarang aku sadar, ternyata cara abi membahagiakan aku beda dengan cara beliau membahagiakan kakak-kakak.
Kalau ada orang yang pantas untuk kita bersujud, maka aku akan bersujud pada abi, meminta maaf atas semua kesalahanku, atas semua sikap burukku terdahulu.
Dan mulai detik ini aku selalu memohon ampun pada Allah atas kesalahanku, aku juga bersyukur sebanyak-banyaknya karena Allah masih memberikan kesempatan bagiku untuk bertobat. Allah gerakkan hatiku untuk bisa ikhlas menerima takdirku, yang mana dulu aku anggap sebagai beban.
Ternyata benar, apa yang menurut kita baik belum tentu yang terbaik. Allah lewat kedua orangtua itu lebih tau apa yang terbaik untuk kita. Dari itu semua aku ambil hikmah, ketika aku sedang bimbang akan suatu hal, maka setelah memohon petunjuk pada Allah, aku akan lari ke orangtua untuk meminta nasehat.
Seperti satu hal yang aku lakukan kemarin. Aku menemui abi untuk menyampaikan segala kebimbanganku tentang Mas Luham yang akan maju mencalonkan diri menjadi kepala desa. Jujur aku sendiri merasa sangat berat, walaupun belum tentu terpilih juga.
Yang aku beratkan bukan Mas Luham tapi lebih ke aku sendiri, bisakah aku mendampingi Mas Luham menjalankan amanah itu? Bisakah aku menjadi sosok yang pantas menjadi panutan masyarakat?
"Bismillah, yakin saja. Kalau Luham berhasil menang berarti memang dia pantas memimpin dan kamu pantas mendampingi!"
Lamunanku seketika buyar saat abi berbicara ditambah dengan menepuk pundakku. Malam ini di rumah mertuaku sedang diadakan sebuah acara. Aku tidak tau pasti acara apa ini, yang jelas ada doa bersama sebagai awal perjuangan Mas Luham mencalonkan diri. Kata Mas Luham malam ini juga akan dibentuk timses dan teknik kampanye. Aku nggak paham. Kata Mas Luham kan tugasku itu memeluk dia kalau dia capek. Bukan memikirkan cara agar Mas Luham menang.
"Alea pantes nggak sih Bi jadi Bu Lurah? Berasa langsung jadi tambah tua beberapa tahun!" jawabku dan abi tertawa.
"Yang namanya pemimpin memang dituakan, pantas enggaknya ya Abi belum bisa lihat, makanya kamu buktikan biar Abi bisa kasih penilaian. Tapi Abi yakin, insyaallah anak Abi mampu menerima amanah itu. Maju terus!"
Aku tersenyum haru, setiap berbicara dengan abi atau bunda pasti akan menambah semangat tersendiri.
Setelahnya abi bergabung dengan abah mertua dan yang lain sedangkan aku kembali duduk bersama bunda dan umi juga beberapa ibu-ibu yang katanya menjadi timses Mas Luham.
Sejak tadi mulai acara aku belum bertemu Mas Luham lagi, dia sibuk menemui tamu-tamu. Entah kenapa hal ini menjadi gambaran bagiku, membuat aku harus siap jika suatu hari nanti Mas Luham beneran terpilih dan waktunya lebih banyak untuk melayani masyarakat. Aku berharap semoga aku bisa ikhlas, aku yang sudah memutuskan untuk mendukung dia, maka aku juga harus siap lahir batin. Aku yakin Mas Luham tidak akan pernah mengabaikan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
8. Real yang tak Nyata
RandomTidak Semua yang kita harapkan bisa terwujud, dan tidak semua yang kita tolak bisa menjauh. Hidup tidak semudah apa yang kita mau.