Reyshaka sibuk di depan komputer, dia mencari titik koordinat alamat kantor lembaga yang ditawarkan oleh dr. Kaslan. Dia tersenyum lebar saat tahu bahwa kantor itu jauh dari rumah Shanum.
Rey ingin sekali mengambil pekerjaan itu, apalagi dia mendapat rekomendasi dari dr. Kaslan maka tingkat diterimanya lebih besar. Dia butuh kesibukkan yang positif tapi ganjalan terbesarnya adalah, kenapa harus berkantor di Jombang.
"Agak jauh Bang, rumah Mbak Shanum kan daerah Ploso sedangkan itu kantornya daerah Mojoagung!" Arsha berkomentar seolah dia adalah bupati Jombang yang tau banget daerah ini.
Tapi memang kenyataannya begitu, Arsha jauh lebih mengenal Jombang daripada Rey.
"Jauh di mata tapi dekat di doa..." Rey malah bernyanyi membuat Arsha menatapnya ngeri, khawatir sekali kalau kakaknya ini stres.
"Ambil, Bang! Biar deket sama dedek Arsha, sebentar lagi wisuda loh ini, bisa bantuin Abang. Ya lumayanlah, ngepel bisa, nyuci piring bisa,"
Rey mendengus seraya mendorong pundak Arsha.
Sejak pulang kerja tadi tawaran kerja itu terus berputar di pikirannya. Rey selalu semangat jika dilibatkan dalam tugas relawan, dulu semasa kuliah dia juga aktif ikut kegiatan serupa.
Tapi sekali lagi, ada ganjalan besar di hatinya. Satu kota dengan Shanum dan suaminya bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
"Ma!" sapa Rey, dia menuju kamar Sang Mama.
Ralin menaruh bukunya dan beralih ke Rey yang langsung berbaring di sampingnya. Tidak lama kemudian Arsha masuk dan tak mau kalah. Arsha juga berbaring, mengambil tempat di sebelah Ralin yang kosong.
"Ya Allah.. Ngapain sih ikut ke sini? Katanya mau live instagram? Sana ah, jangan di sini! Mama nggak boleh di publikasikan nanti raja ngamuk!" tegur Rey yang tak rela harus berbagi mama dengan Arsha.
"Nggak jadi, nanti aja habis isya!" jawab Arsha dan dengan sengaja memeluk Ralin yang duduk di antara mereka berdua.
Selanjutnya adik kakak itu berubah jadi anak kecil lagi, keduanya rebutan Sang Mama. Mereka baru berhenti kala Ralin menegur, dan Arsha yang mengalah. Bukan mengalah, tapi memang harus pergi karena panggilan alam.
"Kamu jadi ambil kerjaan yang Jombang?" tanya Ralin.
"Pengin sih Ma, tapi masih ragu. Nggak mau ninggalin Mama jauh-jauh!"
Ralin mengusap rambut Rey, lelaki yang tingginya melebihi Ralin itu terus merajuk seperti anak kecil, lupa umur yang sebenarnya.
"Kamu kenapa nggak bilang ke Shanum kalau kamu nggak datang waktu itu karena Mama? Mungkin Shanum bisa menerima alasan kamu."
Ralin masih merasa menyesal dengan kesalahannya kemarin, dia yakin Shanum wanita yang baik tapi karena ketakutannya sendiri malah membuat anaknya jauh dari Shanum.
"Mama jangan merasa bersalah. Yang salah Rey, Mama sudah bersikap benar karena sayang sama anaknya. Dan kenapa Rey nggak bilang alasan Rey tidak datang waktu itu, ya karena Rey nggak mau Shanum jauh dari Mama. Dia pertama kali nyaman sama Mama, dia pertama kali dekat dengan Mama, dia menyayangi Mama seperti uminya sendiri. Biar dia sakit hati sama Rey saja, jangan ke Mama, karena dia sangat menyayangi Mama!"
Rasa bersalah itu semakin tumbuh di hati Ralin, seandainya saja waktu itu hati dan pikirannya terbuka dan mau mendengarkan suami, pasti ceritanya tidak akan seperti ini.
"Maafin Mama ya, Rey?" pinta Ralin dengan tulus sambil berkaca-kaca. Rey langsung duduk dan memeluk mamanya itu.
Berulang kali dia meyakinkan Sang Mama bahwa dia baik-baik saja. Sekarang dia tidak ingin terlihat sedih lagi terutama di depan mama nya. Mau Bagaimana pun bentuk hatinya saat ini yang jelas dia tidak boleh terlihat sedih agar mamanya tidak kepikiran terus menerus.
KAMU SEDANG MEMBACA
8. Real yang tak Nyata
RandomTidak Semua yang kita harapkan bisa terwujud, dan tidak semua yang kita tolak bisa menjauh. Hidup tidak semudah apa yang kita mau.