Waktu semakin berganti dan Alea kembali menjalani rutinitasnya, kegiatan pesantren bersama mertuanya juga sebagai tenaga penyuluh kesehatan.
"Mbak Fani udah masuk kerja Mas?" tanya Alea sesaat sebelum dia turun dari mobil. Dia masih celingukan melihat sekitar puskesmas, kalau ditanya dia pasti enggan bertemu lagi dengan Fani.
"Kamu boleh kerja di rumah sakit waktu itu, kalau memang pengin banget kerja dan nggak nyaman di sini!"
Alea kembali duduk rapi dan memandang suaminya. Dia sungguh terharu dengan jawaban Luham, padahal lelaki itu menjawab sambil sibuk dengan hpnya.
"Kenapa kamu, Al?" tanya Luham kebingungan karena saat mengalihakan pandangan dari hp, dia mendapati Alea yang senyum-senyum sendiri.
"Mas Luham itu indihome banget ya, selain bisa lihat hantu bisa dengar suara hati juga!"
Luham tidak bisa menyembunyikan gelak tawanya sekaligus rasa greget pada istrinya itu. Dia langsung meletakkan tangannya di kepala Alea dan mencium pipinya.
"Atau kalau kamu mau dirumah aja, aku malah tambah seneng!" ucap Luham lagi.
Alea menggeleng cepat, dia masih tetap ingin bekerja untuk menyalurkan ilmunya.
"Kata Kak Dito di Klinik dalam waktu dekat ada lowongan. Boleh nggak? Agak jauh sih dari rumah, nanti aku naik motor aja dari pada Mas Luham bolak balik jauh banget."
"Boleh, asalkan tetap jaga diri!"
Jawaban Luham semakin menyempurnakan hari Alea yang cerah, dia mencium tangan suaminya dan langsung turun. Rencananya dia akan menyelesaikan jadwal penyuluhan hingga akhir bulan ini dan setelah itu dia akan mengundurkan diri dari puskesmas ini.
Langakahnya sedikit tersendat ketika dia melihat Fani yang sudah masuk kerja, walupun keraguan sempat menjalari hatinya dia tetap menyapa dan berkoordinasi dengan Fani seperti biasanya.
Mau berusaha sebaik apapun tetap ada yang berbeda diantara mereka, Fani tidak seramah biasanya, setelah selesai briefing dia langsung meninggalkan Alea dan menyerahkan semua tugas penyuluhan hari ini padanya. Alea sama sekali tidak keberatan, dia malah lebih nyaman bekerja dibantu anak-anak PKL daripada sengan Fani.
Seharian itu Alea berkeliling ke tiga pedukuhan untuk melakukan penyuluhan tentang perbaikan gizi anak, dia yang mencintai profesinya itu tidak merasa keberatan meskipun harus berjalan agak jauh karena ada satu tempat penyuluhan yang tidak bisa dilalui dengan mobil puskesmas.
Karena Alea bukan pegawai tetap di puskesmas itu maka setelah selesai melakukan penyuluhan dia pulang dan kali ini dia minta izin pada Luham untuk ke rumah mama keduanya.
"Masih ingat ternyata dengan mamanya!" kata Ralin saat melihat Alea datang, perempuan itu langsung menerima pelukan hangat dari Alea.
"Maaf lagi sibuk, Ma!" jawab Alea seraya meringis pelan. "Sibuk meratapi nasib!" lanjutnya.
Keduanya langsung ber-quality time karena sudah lebih dari seminggu tidak bertemu. Ralin lebih dulu menyimpan mushafnya karena tadi dia sedang mengaji sebelum kedatangan Alea, baru setelah itu dia bergabung dengan Alea di depan TV.
"Rey masuk siang in, Ma?"
"Iya, belum lama berangkatnya. Dia setuju dijodohkan dengan Zulfa. Kapan Mama bisa ketemu sama dia?"
Alea berhenti mengunyah, sekarang rasa keripik bayam yang gurih berubah jadi hambar. Alea meletakkan toples keripiknya lalu menghadap ke Ralin. "Rey setuju? Mama yakin?" tanyanya.
Ralin mengangguk seraya tersenyum tapi Alea menangkap hal lain dari sorot matanya.
"Ma! Rasanya aku nggak sopan kalau mau menggurui Mama tentang pernikahan, bagaimanapun Mama pasti jauh lebih banyak pengalamannya. Tapi Alea cuma mau bilang, tanya hati Mama, apa benar-benar menjodohkan Zulfa dan Rey itu sudah jalan yang terbaik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
8. Real yang tak Nyata
RandomTidak Semua yang kita harapkan bisa terwujud, dan tidak semua yang kita tolak bisa menjauh. Hidup tidak semudah apa yang kita mau.