Rey pulang dan langsung menuju dapur, alisnya langsung bertaut saat pemandangan pertama yang dia lihat adalah Shanum yang menangis. Buru-buru dia mendekat. "Kenapa?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Ralin yang baru dari kamar mandi dibuat heran dengan putranya yang berwajah tegang. "Daritadi pulangnya?"
Rey langsung menghampiri mamanya itu untuk mencium tangan sembari menjawab, "Baru aja, Ma." jawab Rey dan fokusnya kembali ke Shanum. Dengan gerakan mata dia bertanya pada Sang Mama kenapa Shanum menangis.
"Ada masalah lagi?" bisik Rey.
"Iya," jawab Ralin pelan dengan raut wajah dibuat sedih.
Keduanya langsung mendekat, Ralin berdiri di belakang Shanum lalu memegang kedua pundak wanita itu, sedangkan Rey berdiri tak jauh dari mereka dan masih menunggu jawaban Shanum, siapa tahu bisa membantu meringankan masalahnya.
"Kamu kalau udah nggak kuat jangan ditanggung sendiri, ada Tante sama Rey yang bisa bantu kamu sekarang!"
"Iya," jawab Shanum dengan mata yang memerah.
Rey semakin khawatir melihat Shanum yang air matanya semakin deras, tapi tangannya tidak mau berhenti bekerja seolah aktifitasnya memotong bahan makanan itu bisa mengalihkan sedihnya.
"Master, mau bantu aku?"
"Insyaallah,"
Ralin tersenyum dan mengangguk ketika Rey menatapnya.
"Ya udah, gantiin ngiris bawang merah ini. Udah perih banget mataku?" jawab Shanum lalu berdiri dan menuju wastafel untuk mencuci tangan.
Belum sadar dikerjain kedua wanita ini, Rey masih terbengong. Sang Mama langsung mendudukkannya di kursi lalu menyerahkan pisaunya.
"tinggal sedikit lagi, semangat!"
Rey kini menatap pasrah ke mamanya, yang dibilang tinggal sedikit itu ya kira-kira masih ada 10 biji lebih. Kemudian netranya menghunus tajam ke arah Shanum yang sudah menutup mulutnya menahan agar tawanya tidak keras.
"katanya sepuluh menit nggak pulang, makanan habis. Kirain udah mateng semua, aku udah naik mobil kayak Om Rossi, biar kebagian makanan. Mengabaikan resiko tinggi kecelakaan, di klakson sana sini, eh nggak taunya suruh ngiris bawang!" Rey terus mengomel sambil mengiris bawang, sedangkan kedua wanita itu sibuk menertawakan Rey.
Sementara Rey mengiris bawang dengan mulut yang tak berhenti ngomel, Shanum dan Ralin langsung mengerjakan yang lain. Tadi pagi Shanum sampai di Semarang, setelah menelepon Ralin siang tadi dia datang dengan membawa banyak oleh-oleh dari Jombang. Karena bingung mau ngapain akhirnya yang terpikir pertama kali sudah pasti masak.
Ralin yang sudah lama tidak praktek di manapun membuat waktunya semakin luang, hal itu juga yang membuat Ralin pada akhirnya mau mewujudkan masukan dari orang-orang yang sejak dulu dia terima. Bisnis kuliner.
Sejak beberapa tahun terakhir, Ralin merintis usaha yang tentunya tidak lepas dari campur tangan suaminya. Nazril mendukung penuh keinginannya tapi tetap harus jaga kesehatan, dan sekarang toko kuenya itu sudah lumayan berjalan, kini dia tinggal memantau perkembangan tokonya, biasanya seminggu dua kali dia ke sana bersama Nazril.
"Bang! Kamu diapain sama mereka sampai nangis begitu?"
Ketiganya langsung menoleh ke satu orang yang baru masuk ke dapur.
"Tolong Rey, Pa! Rey nggak kuat menghadapi kekuatan mereka!" jawab Rey sambil akting menangis, natural aktingnya karena matanya beneran berair setelah selesai mengiris bawang.
Ralin langsung mendekat ke suaminya untuk mencium tangan disusul Rey yang sudah mencuci tangannya sedangkan Shanum hanya tersenyum dan mengangguk sopan ke Nazril.
KAMU SEDANG MEMBACA
8. Real yang tak Nyata
RandomTidak Semua yang kita harapkan bisa terwujud, dan tidak semua yang kita tolak bisa menjauh. Hidup tidak semudah apa yang kita mau.