Hari yang Alea nantikan telah tiba, rabu pagi sehabis sarapan dirinya sudah siap ikut Luham ke Jakarta. Sebenarnya Luham sendiri berencana berangkat rabu sore sehabis dia kerja karena surat tugasnya di hari kamis jumat. Tapi karena melihat Alea yang semangat berangkat, dia harus mengambil cuti mendadak. Untung saja sedang tidak ada kerjaan yang penting, hal itu dia lakukan sebagai salah satu cara menjalankan misinya.
"Mas, jadi lewat rumah Mama Ralin kan? Aku mau nitipin kucing, nanti sore Rey sudah pulang."
Luham melirik Alea yang duduk di sampingnya, sebenarnya sejak kemarin dia tidak setuju kalau harus menitipkan kucing Alea kepada Rey, tapi gadis itu meyakinkan kembali, akhirnya Luham meminta sopirnya untuk mampir ke rumah Rey terlebih dahulu, untung saja orangnya belum di rumah.
Alea langsung masuk dan memeluk tante kesayangannya itu setelah 15 menit kemudian mereka sampai. Luham memilih ngobrol dengan Nazril dan Arsha yang tengah bermain pingpong di halaman rumah.
"Minum, Bang!" Arsha mengambilkan Luham minum sesaat setelah dia dan Sang Papa berhenti main.
"Makasih, Sha!"
Nazril dan Luham duduk di teras rumah sambil ngobrol sembari menunggu Alea selesai menyampaikan serentetan pesan untuk Rey lewat Arsha.
"Jangan ngangguk-ngagguk aja, paham kan yang Kakak bilang tadi?"
"Iya mantan calon kakak ipar, ingatanku ini nggak perlu diragukan."
Dengan ringannya tangan Alea menyapa lengan Arsha. Adik Rey itu langsung beringsut pergi dari hadapan Alea sebelum orangnya tambah ngamuk.
"Ini kalau nggak diambil tepat waktu, aku jadiin nasi kucing!"
"Arshaaaa!" teriak Alea tapi telat karena pemuda itu sudah terlebih dulu menghilang masuk kamarnya.
Selesai urusan kucing, Alea mendekati Ralin untuk pamit. Jika tadi dia bisa ngamuk-ngamuk dengan Arsha, di hadapan Ralin dia tidak bisa berkata apa-apa. Langsung saja Alea mencium tangan wanita itu dan memeluknya.
Untuk sesaat Ralin mendekap keponakannya itu, menyalurkan segala kasih sayangnya. Ralin mengusap lembut punggung Alea dan mencium kepala gadis itu.
"Alea!"
Alea hanya menatap Ralin, rasanya tenggorokannya sudah penuh sehingga susah untuk menjawab.
"Kamu tetap anak Mama, bukan keponakan biasa. Mama sayang dan cinta banget sama Alea seperti sayang sama Rey dan Arsha," Wanita itu menghela nafasnya terlebih dahulu, semua keluarga sudah paham apa yang Alea dan Rey alami. "Tapi Mama juga takut kalau rasa sayang dan cinta Mama malah akan membuat kita tidak diridhoi Allah." lanjutnya.
"Ini takdir Alea, semua yang terjadi hingga detik ini adalah atas seizin Allah. Yang perlu Alea lakukan adalah menerima qadla dan qadar Allah. Mama selalu berdoa untuk kebahagiaan anak-anak Mama termasuk kamu!" ujar Ralin lagi dengan tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.
"Maaf kalau Alea belum bisa menerima semua ini, Ma! Sejauh ini anak sulung Mama masih yang terbaik."
Dada Ralin semakin sesak,
"Percaya sama Mama, Alea dan Rey hanya terbiasa bersama sejak kecil. Kita ambil hikmahnya ya, dengan apa yang terjadi sejauh ini kita terima bahwa Alea dan Rey itu bukan jodoh, kalian saudara!"
"Iya. Alea masih berharap kalau Mama Ralin mau kasih tau alasan kenapa Alea harus menikah dengan Mas Luham,"
Ralin memeluk sekali lagi keponakannya, "Abi yang lebih berhak, Sayang!" Alea hanya tersenyum hambar, sudah pasti jawabannya seperti itu. lalu Ralin merengkuh pundak Alea dan mengantar dia hingga depan rumah. Ralin dan Nazril menunggu hingga mobil Luham meninggalkan halaman rumah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
8. Real yang tak Nyata
RandomTidak Semua yang kita harapkan bisa terwujud, dan tidak semua yang kita tolak bisa menjauh. Hidup tidak semudah apa yang kita mau.