"Kalau indigo bisa diturunkan ke anak, Mas?"
Mas Luham spontan tertawa mendengar pertanyaan ku yang random ini.
"Bisa jadi. Simbah dari jalur umi kan juga punya kelebihan seperti itu." jawabnya dengan ekspresi yang sengaja banget untuk menakuti ku.
Tapi walaupun udah hafal dengan sifat jahilnya, tak aku pingkiri semangatku langsung terjun bebas kemudian pandangan tertuju pada seorang anak kecil berumur dua tahun yang sedang tertidur pulas. Dalam pikiranku terputar kembali beberapa kejadian yang aku alami selama ini.
Mas Luham diberi anugerah oleh Allah bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata membuat aku sering juga mengalami kejadian-kejadian mistis tapi tak lantas membuat jiwa penakutku hilang, hanya bisa dikatakan tingkat sisi penakutku sedikit naik level. Jika dulu mendengar suara burung hantu saja sudah membuatku keringat dingin, sekarang levelnya naik, suara burung hantu atau suara aneh lain tak begitu menakutkan.
Namun sepertinya tingkat kecemasanku kembali tinggi ketika beberapa waktu terakhir aku diam-diam mengamati perkembangan anakku. Anak lelaki yang sudah mulai aktif berbicara ini sering terlihat asyik bermain di pojokan, mengoceh sampai tertawa sendiri, bahkan tempat makan favoritnya juga di situ.
Maka aku kembali menceritakan keanehan aku alami itu pada Mas Luham. Tapi lagi-lagi jawabannya membuat efek greget.
"Nggak usah mikir aneh-aneh, anak kecil biasa punya dunia sendiri seperti itu." jawab Mas Luham.
Aku tetap menggeleng, bersikeras bahwa putraku memang suka aneh. "Beneran deh, Mas! Dia kan belum lancar banget mengutarakan keinginan, nah pas mau aku suapin pasti narik tanganku ke pojokan, terus makan lahap banget di situ."
"Ya mungkin ada yang pengin ikut kamu suapin,"
"Pak Luham!!" teriakku bermaksud menegurnya yang hobi banget menakut-nakuti.
Mas Luham hanya mampu pasrah melihat aku bersikeras. "Ya aku bingung, Sayang! Aku jawab nggak ada apa-apa, salah. Aku jawab lain lagi, salah juga. Menghadapi warga satu kelurahan aja nggak sepusing menghadapi kamu kalau lagi takut begini." ujarnya diakhiri tawa geli.
Aku memukul pelan lengannya. "Iya! Tapi jangan keras-keras suaranya, nanti Rayan bangun."
"Lah! Orang kamu yang teriak!" Mas Luham semakin gencar menggoda ku.
Dan benar, suara ribut kecil dari kami mengganggu tidur bocah kecil ini sehingga aku harus mendekat untuk menenangkannya agar kembali tidur, pasalnya sudah larut malam dan kalau dia terbangun, susah tidur lagi.
Lima belas menit kemudian, Rayan kembali pulas yang membuatku kembali semangat melanjutkan pembahasan tadi. Soalnya aku hafal sekali pada Mas Luham, tidak pernah mau jujur jika memang ada hal-hal ghaib yang terjadi.
"Udah ya! Sekarang tidur." titah Mas Luham ketika aku baru saja ingin membuka mulut.
Mau tidak mau aku diam dan menuruti perintahnya.
"Kalau benar Rayan juga punya kelebihan, sungguh malang nasibku, tinggal dengan dua orang yang punya dunia lain, Ya Allah..." keluhku pelan yang membuat Mas Luham tertawa.
"Ya cari teman dong! Biar pas, punya kubu sendiri-sendiri." jawabnya.
Aku kembali membuka mata dan mendapati senyum lebar Luham. "Maksudnya, Mas?"
"Aku dan Rayan kubu ganteng-ganteng indigo, kamu punya anak lagi biar bisa bikin kubu." terangnya.
Aku langsung pura-pura memejamkan mata sambil mendengkur ketika memahami maksud Mas Luham. Dan dia malah tertawa keras, lupa kalau Rayan di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
8. Real yang tak Nyata
RandomTidak Semua yang kita harapkan bisa terwujud, dan tidak semua yang kita tolak bisa menjauh. Hidup tidak semudah apa yang kita mau.