Suara ketukan keras membuyarkan Yani dari mimpi. Dengan malas ia beranjak membuka pintu. Yani langsung melebarkan mata melihat perempuan yang tadi pergi bersama Alfa, kini sedang memapah lelaki itu karena mabuk.
Jam menunjukkan pukul tiga pagi, dan mereka baru pulang. Yani merasa jijik melihat leher dan dada perempuan yang hampir terekpost itu dipenuhi kissmark. Entah apa yang tadi mereka lakukan, Yani tidak ingin membayangkan.
"Nih laki Lo gue balikin, kapan-kapan gue pinjem lagi, ya." Perempuan setengah mabuk itu terkekeh. Alfa yang masih setengah sadar dengan baju sudah berantakan, berlalu ke dalam.
Yani hanya diam, mereka sungguh menjijikkan. Rasanya ia juga mual mencium bau alkohol. Ia langsung menutup pintu dengan keras, mengacuhkan Stella yang mengoceh dan mengumpatinya.
Yani memperhatikan Alfa yang sempoyongan masuk ke kamar. Kepalanya terasa pening, karena akhir-akhir ini terlalu banyak menghirup bau alkohol. Alfa bukannya mengurangi, malah tambah menjadi.
Ia tidak tahu apakah bisa membantu kakak Alfa menyadarkan adiknya. Ia tidak menjamin akan tahan dengan lelaki yang semakin hari kelakuannya semakin buruk. Tidak terasa air matanya luruh.
Dirinya merasa tidak kuat terus-terusan berada di lingkungan toxic seperti ini. Yani tidak tahu, harus ke mana ia untuk mencari ketenangan.
****
Terbangun dengan mata sembab bukan hal yang baru lagi baginya. Sejak dahulu saat ia tinggal bersama keluarganya sekalipun. Kantong matanya membengkak, karena ia sering begadang dan menangis.
Terkadang di tengah malam, ia melakukan tindakan bodoh dengan menyakiti diri sendiri. Ia butuh pelampiasan dari rasa sakit yang tidak terlihat. Mengobati rasa sakit dengan rasa sakit, sudah biasa ia lakukan sejak dulu. Yani tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.
Ia menyisir rambutnya lalu keluar menuju dapur. Tidak mungki ia tidak masak lagi hari ini. Bisa-bisa ia kena semprot Alfa. Lelaki itu belum bangun. Ia mengecek beberapa bahan makanan yang habis, lantas keluar mendengar suara klakson tukang sayur.
Yani tidak menyukai kegiatan ini, karena tetangganya akan bertanya macam-macam padanya. Terkadang ia hanya tersenyum menjawabnya, terkadang pula ia terpaksa berbohong karena tidak ingin menambah masalah.
"Memangnya cowok modelan Alfa gitu bisa tanggungjawab, Yan?"
Tidak sama sekali.
Yani hanya tersenyum.
"Jaman sekarang cari laki modelan tampang doang mah, bisa-bisa kita sendiri yang bobrok," sahut yang lain.
Yani hanya menghela napas, cepat-cepat ia mengambil ikan laut, cabai, dan beberapa sayuran, lantas kembali masuk. Ia tidak ingin semakin larut dalam pembicaraan mereka.
Sampai ia selesai masak pun Alfa belum bangun. Yani pun berlalu ke kamar untuk mengeceknya. Ia memanggil lirih sembari mengetuk pintu pelan karena takut Alfa marah. Namun, tidak ada sahutan. Menarik napas, Yani masuk karena pintunya tidak dikunci.
Lelaki itu tengah tengkurap tanpa mencopot sepatu. Yani mendekat menggoyang tubuhnya pelan. Masih tidak ada pergerakan. Ia mendekatkan kepala untuk mengecek napasnya. Masih hidup, pikirnya. Tiba-tiba ia memekik ketika Alfa menarik tubuhnya dan menghepaskannya ke kasur.
Seketika Alfa mendekap hingga Yani kesulitan untuk melarikan diri. Ia berusaha menggeliat. Dirinya tidak mau disentuh lelaki yang semalam asik menyentuh perempuan lain. Apalagi Alfa yang tidak mengganti pakaiannya. "Le-lepas, Kak!
Namun, Alfa memilih untuk tidak mendengarkannya. Ia masih mengatupkan mata, tidak perduli pada Yani yang berusaha melepaskan diri. Lama-lama ia jengah dengan pergerakan brutal perempuan itu, lantas membebaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Marriage
RomanceMenikah dengan kakak tingkatnya yang kasar hanya karena salah paham dan kena grebek warga, bukan hal yang Aryani inginkan dalam daftar hidupnya. Note; kurang cocok untuk anak dibawah umur, karena mengandung kekerasan dan banyak kata kasar. Selamat m...